Meramal Isi Kepala

Penulis: Khoirotun Nisa**

Gagasanonline.com – “Ingin mengetahui pikiran orang? Bacalah tulisannya”. Sering terdengar perkataan ini berseliweran di kehidupan kita. Namun beberapa orang sulit mengunkapkan pikiran dan perasannya. Bahkan beberapa orang lebih memilih mengungkapkan pikiran dan perasaannya lewat tulisan. Sebut saja cinta, hal yang paling sulit terucapkan. Pujangga selalu mengorbankan kertas-kertasnya sebagai tempat pelampiasan. Sehingga ia termotivasi untuk menyampaikannya dalam bentuk frasa, rasa dan aksara. Sebut saja, novelis Tere Liye misalnya, menjelajahi dunia dengan fantasi-fantasi petualangan yang tak terjangkau oleh akal sehat. Tak jauh beda dengan Enid Blyton, ingin mempunyai pulau pribadi tapi tak kesampaian, akhirnya menciptakan tokoh kecil hebat bernama George dengan pulau pribadi dan pemandangan kapal karam yang menakjubakan. Siapa sangka pikiran orang bisa segila itu?

Sejarawan yang membukukan kisah sejarah juga telah mengabulkan keinginan para pejuang untuk membangkitkan semangat anak-anak agar mengetahui apa yang telah dilakukan veteran dahulu. Membiarkan anak-anak memakan permen coklat nya sambil menghafal tanggal disahkannya proklamasi di atas ayunan. Bayangan yang luar biasa telah diramal pejuang kita terdahulu. Tak ketinggalan Aristoteles dan Plato, kalau bukan karna pikiran mereka yang tertulis, tak akan tahu kita sekarang tentang keilmuan filsafat, penarikan kesimpulan atau yang disebut dengan silogisme, juga ilmu keadilan yang tak akan pernah habis dimakan zaman. Itu semua akibat dari keinginan tokoh mengekspresikan hati dan isi otak.

Begitu juga dengan isi hati yang menjadi tempat kepura-puraan. Menyelami seluruh teluk namun saat di permukaan bukan menjadi milik kita, tapi menjadi milik diary yang akan menjadi tempat pengaduan kita. Tak hanya diary, kerap orang juga menggunakan dunia maya sebagai tempat segala keluh kesah yang dielu-elukan. Orang lebih suka menjelajah, menggunakan topeng kebaikan agar wujud asli tak tampak. Entah dari bertanya apa warna baju yang cocok dipakai ketika menaiki onjek online, atau bertanya pendapat tentang ingin makan apa hari ini.

Tapi siap-siap saja, profesi buzzer sudah mendarah daging. Bukan hal tabu menghina orang. Hal positif saja bisa dibilang pencitraan, lalu bagaimana dengan mengadu segala kegiatan sejak bangun tidur hingga harus makan pakai tangan atau sendok pun ditanyakan pada media sosial.

Menulis memang melibatkan emosi, agar pesannya tersampaikan. Hal positif tidak harus selalu menguntungkan orang lain, menguntungkan diri sendiri pun sudah cukup untuk menyalurkan aura kebaikan pada orang lain. ‘Sepotong Hati Yang Baru’ milik Tere Liye berhasil membawa saya larut dalam perjuangan kisah cinta Sampek Engtay untuk bersatu tetapi tak tahu bagaimana ingin menyampaikan. Kesulitan berbicara tidak akan pernah menjadi hambatan bagi seseorang untuk terus merubah pandangan orang terhadap objek dan subjek tertentu. Hanya waktunya yang kurang tepat, bukan dirinya tak bisa. Dan, jadilah kita seperti apa yang kita inginkan, menorehkan apa yang menjadi kesukaan.

Editor: Wulan Rahma Fanni
Foto: Internet

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.