Penulis: Melba Ferry Fadly
Gagasanonline.com – Jumat malam, 23 September 2011 pukul 19.30, semua kru sedang menunggu Alumni. Hari itu LPM Gagasan adakan pertemuan kecil, sempena ulang tahun ke-18. Acara ini sekaligus membicarakan agenda penerbitan buku kumpulan 18 alumni LPM Gagasan.
Tak lama berselang, seorang pria paruh baya kenakan batik hijau tua berdiri di depan pintu. Ia menyapa semua kru. “Saye pikir ini acara formal, makenye saye pakai batik,” katanya.
Perawakannya tinggi besar. Kulitnya agak gelap. Potongan rambutnya pendek, tutr katanya kental dengan logat melayu pesisir. Idris Ali namanya. Ia adalah wartawan Riau Pos biro Kabupaten Pelalawan. Lebih 16 tahun ia menghabiskan hidup sebagai wartawan. Sebelum menetap di Riau Pos, ia sudah berpengalaman di beberapa media luar.
Malam itu suasana keakraban keluarga mulai terasa saat beberapa alumni lain menyusul. Ada Purwaji, Alnoprizal, Jefrison, Rifaul Fanani, Raja Qomariyah, Saiful, Tados Marta, Ranny Ramadhany, Riyan Nofitra, Arie Gunawan, dan seluruh kru LPM Gagasan.
Idris lahir tahun 1960 di Selat Panjang, Kabupaten Bengkalis. Masa kecilnya dihabiskan membantu orang tua di ladang. “Ayah saye seorang petani.”
Seiring berjalannya waktu, hasrat menimba ilmu sudah lama ia tahan, namun ia urungkan, mengingat kondisi keuangan keluarga yang kembang kempis.
Genap usia 10 tahun, ia masuk sekolah dasar. Jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh. Setiap pagi idris berjalan kaki, menyusuri pinggiran Sungai Tohor Kanan.
Sejak kecil wataknya dikenal keras. “Itu karena factor umur. Cuma saye yang badan besar,” katanya. Ia pun jadi sorotan teman sekelasnya. Saat kelas dua SD, rekan sekelasnya mulai tidak senang. Bahkan mereka sempat adu otot.
“Betumbuk aku dengan anak tu. Habis tu aku pindah sekolah. Kerane di desa aku sudah ade SD,” tambahnya.
Baca juga: Tempat Bermain di Mal dan Nasib Pasar Malam
Tamat SD tahun 1974, Idris melanjutkan pendidikan Pesantren Mu’alimin, Selat Panjang. Sekian tahun bergelut dengan ilmu agama tidak membuat ia jenuh. Tahun 1981 Idris memutuskan berangkat ke Pekanbaru. Tujuannya ke Universitas Islam Riau (UIR). Ia lulus di Fakultas Ushuluddin.
Tiga bulan jadi mahasiswa, ia kumpulkan rekan aktivis untuk aksi. Sasarannya rektor. Mereka minta diturunkan uang kuliah dan pembangunan.
“Kami minta anggaran pembangunan diturunkan dari enam ribu, jadi tiga ribu. Dan uang kuliah tiga ribu jadi dua ribu.”
Setelah itu ia berhenti kuliah dan jadi guru di SD Muhammadiyah, Sukajadi. Tak lama mengajar. Terbesit lagi di benaknya untuk kuliah. Tahun 1992, ia ikut tes di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Syarif Qasim Riau (Sekarang UIN Suska Riau). Ia lulus di Fakultas Ushuluddin.
Ketika itu ia sempat mengamati motivasi kuliah para mahasiswa. Sebagian besar orientasinya lebih kepada pegawai negeri sipil. “Tak ade yang berpikir untuk cari pekerjaan lain,” katanya.
Melihat fenomena itu, Idris coba mendirikan sebuah organisasi baru sebagai wadah mengasah keterampilan mahasiswa di bidang lain. “Saye mau buat koran kampus,” katanya.
Langkah pertama, ia kumpulkan seluruh koran kampus yang ada di Riau. “Mulai koran yang ada surat tanda terbit, sampai koran kampus yang taka da surat izinnya.” Kemudian ia menghadap Rektor IAIN Susqa Riau, saat itu dijabat oleh Yusuf Rahman.
Baca juga: Menikmati Wisata Alam Danau Berwarna di Kawah Putih
Idris mengutarakan maksud dan tujuannya ke rektor untuk mendirikan sebuah lembaga pers yang dikelola mahasiswa.
Gayung pun bersambut, usulan diterima. Namun rektor tak ingin berdirinya koran kampus di IAIN tanpa ada surat izin resmi dari Menteri Penerangan masa itu. Ia langsung ke bagian tata usaha untuk minta tanda tangan dan stempel basah dari Menteri Penerangan. “Biar pak rektor pecaye dengan saye.”
Seminggu setelah itu, tanggal 14 Desember 1993 keluar Surat Keputusan (SK) dan Surat Tanda Terbit (STT) dari Menteri Penerangan dengan nomor: 1950/SK/DIRJEN PPG/STT/1993. Idris kembali temui rektor untuk memberikan kabar itu.
Tak lama setelah STT Gagasan terbit, ia dihubungi oleh pihak Menteri Penerangan. Mereka minta uang pelican saat mengurus STT.
“Pak, orang dari Menteri Penerangan minta duet, cemane, Pak?”
“Berape?”
“75 ribu.”
“Pakai kwitansi atau tidak?”
“Kate orang tu tidak, Pak.”
“Kalau tidak, kasih 25 ribu aje,” jawab rektor.
Setelah STT dari Menteri Penerangan terbit, Gagasan belum leluasa menerbitkan produk, karena terkendala anggaran. Abu Bakar Siddik dan Fachrunnas MA Jabar, dari Bahana Mahasiswa Universitas Riau (Unri), pernah mengkritik dalam sebuah buku yang berjudul Kata Pena soal penerbitan Gagasan. Jarak antara STT dan terbitan Gagasan edisi perdana terlalu lama. “STT itu keluar bulan Desember tahun 1993. Karena sudah akhir tahun, institut sudah tutup buku. Terpaksa menunggu anggaran tahun 1994 keluar,” jelasnya.
Baca juga: Dilema Mahasiswi Bercadar UIN Suska Riau: Dipaksa Lepas dan Dikaitkan dengan Radikalisme
Tak lama berselang, Idris kembali dipanggil rektor. Ia diutus institut, berangkat ke Jakarta dalam rangka Penataran Pengelolaan Koran Kmapus oleh Departemen Agama. Semua persyaratan sudah selesai, namun ada sedikit kendala. Salah satu persyaratan menyebutkan, setiap peserta diwajibkan membawa hasil produk koran terbitan pertama dan terakhir. “Sementara Gagasan belum pernah cetak.”
Rektor hanya bisa menyarankan ia berangkat dengan bekal STT dari Menteri Penerangan. “Naik pesawat, saye berangkat ke Jakarta. Ongkos ditanggung Depag,” ujarnya.
Di Jakarta, ia tidak diizinkan masuk oleh panitia, karena syaratnya tidak lengkap. Dengan berbagai upaya akhirnya Idris bisa masuk. “Waktu pelatihan itu, saye sempat bicara kasar di depan Pak Harmoko. Saye bilang, selame ini yang mematikan kreatifitas kampus itu Menteri Penerangan, karena Menteri Penerangan selalu mempersulit izin kalau mau buat STT. Sampai bertahun-tahun baru keluar,” tuturnya.
Pengalam unik menghiasi perjalanan pulang dari Jakarta-Pekanbaru. Agar hemat biaya, ia memilih naik bus. “Salah pulak naik bus. Tenaik bus TKI. Dituduh lah saye tekong TKI. Tige hari saye baru sampai ke Pekanbaru,” katanya.
Berkat jerih payah itu lahirlah Gagasan. “Saye senang Gagasan masih bise bertahan hingga kini.” Harapannya lembaga ini akan menggiring motivasi mahasiswa dari PNS oriented, ke arah skill oriented. “Kan terbukti sekarang banyak Alumni Gagasan jadi pimpinan di media luar,” katanya.
Menerbitkan Gagasan bukanlah perkara mudah. Ia bertukus lumus mengerahkan tenaga dan pikiran. Seiring berjalannya waktu, koran kampus yang dikelolanya mulai membuahkan hasil. Mereka terbit setiap tiga bulan sekali dengan membahas permasalahn sekitar fenomena kampus dan mahasiswa. Saat itu aset Gagasan hanya satu stempel dan satu unit computer. “Untuk layout, kami ke Surat Kabar Mingguan Genta.”
Tantangan yang dilewatinya selama kuliah, membuat ia semakin matang. Pernah saat kuliah, membuat ia semakin matang. Pernah saat kuliah, ia diminta menjadi Ketua panitia acara Pelatihan Jurnalistik. “Sebenarnye yang ngadakan itu BEM, tapi saye diminta untuk jadi ketue panitia.” Saat hari H, usai ia beri sambutan, Idris dipanggil Anshari Mahmud, Pembantu Rektor III kala itu. Ia mempertanyakan kapasitas Idris menjadi ketua panitia.
“Saye bilang gini, di IAIN ini pak, tak ade mahasiswa yang tahu tentang jurnalistik. Saye yang pernah ikut penataran jurnalistik ke Jakarta. Kalau bapak tidak senang, tanye lah dengan BEM, kenape saya yang di SK kan jadi ketue panitia,” ucapnya ketus.
Baca juga: Menilik Mahasiswa yang Bekerja Sambil Kuliah
Terlalu lama bergelut di dunia aktivis membuatnya khawatir dengan kuliahnya. Setelah selesaikan semua SKS, ia mulai fokus ke proposal skripsi. Usahanya tak berjalan mulus. Datang lagi masalah baru. “Saye berkelahi dengan PR III.” Akhirnya Idris memutuskan untuk berhenti kuliah dan pindah lagi ke Fakultas Ushuluddin, UIR.
Di sana, ia dapat beasiswa dari Arab Saudi. Di mana jika selesai sarjana muda, ia ditugaskan membina suku terasing. Namun yang mendaftar sebagian besar bukan mahasiswa, tapi dosen dan gurur-guru yang sudah PNS. “Dari 44 peserta ujian, cume 11 orang yang mahasiswa.”
Idris kembali kumpulkan rekan-rekannya. Mereka berontak. Tiga jam ujian tertunda, akhirnya Dekan Fakultas Ushuluddin menjamin tanggungan uang semester mereka sampai selesai.
Hingga kini ia belum mengantongi ijazah sarjana. “Padahal anak saye yang nomor dua, sudah semester tujuh,” kata Idris.
Saat berjuang menghidupi Gagasan, ia tak lupa dengan urusan perut. Sebelum di Riau Pos, ia sudah menjadi wartawan di harian Waspada, Medan selama tiga tahun dan di Singgalang, Padang selama enam bulan. Baru setelah itu ia pulang ke Riau dan bekerja di Surat Kabar Mingguan Genta dengan gaji Rp 125ribu per bulan. Tiga tahun di Genta, membuatnya jenuh. Tahun 1995, Idris jumpai pimpinan redaksi Genta untuk mengundurkan diri. “Bang, aku dapat tawaran kerja, gajinya lebih besar dari Genta.” Setelah surat pemberhentian keluar, ia langsung menghubungi Rida K Liamsi, pimpinan umum Riau Pos saat itu.
“Bang, aku mau masuk Riau Pos.”
“Masuk lah,” jawab Rida.
Empat bulan pertama di Riau Pos, ia bertugas di Pengadilan Negeri Pekanbaru, di Jalan Teratai. Jika malam Minggu, Idris dapat tugas di kamar mayat Rumah Sakit Umum Arifin Ahmad Pekanbaru. “Setiap malam ade yang mati.”
Tahun 1996, ia pindah tugas ke Kabupaten Kampar. Lalu ke Perawang. Tiga tahun setelah itu, Idris naik jabatan jadi asisten koordinator liputan. Setelah itu menjabat sebagai asisten redaktur.
Bagi Idris, mengawasi kerja wartawan di kantor bukan pekerjaan yang menyenangkan. Tak lama menduduki posisi itu, ia kembali jadi wartawan lapangan Riau Pos biro Kabupaten Pelalawan.
Bagi Idris, kesusahan, kemiskinan, dan kondisi yang sempit akan membuat kita terlatih untuk berpikir kreatif. Tak kan lekang oleh waktu jika kemampuan yang kita miliki terus diasah. “Saye harap kawan-kawan Gagasan tetap semangat,” tutupnya.
***
Catatan: Tulisan ini sebelumnya berjudul “Tak Lekang Oleh Waktu” terbit di Majalah LPM Gagasan Edisi Januari 2012. Tujuan diterbitkan kembali ialah upaya mengenang Almarhum Idris Ali yang meninggal dunia pada 10 Januari 2020 di Pekanbaru.
Editor: Bagus Pribadi
Foto: Melba Ferry Fadly