Stigma NKRI

Penulis: Muhammad Al-Hafis**

Gagasanonline.com – Pagi ini aku terbangun oleh kericuhan massa yang mengamuk. Aku mencoba menggapai tirai jendela untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar. Aku hanya bisa terdiam kaku melihat apa yang terjadi. Orang-orang bersorak, merampas dan membakar ruko abah yang berada di persimpangan jalan.

“Dasar monyeet!” teriak seorang pemuda yang memegang sebongkah kayu.

Asap mulai menutupi pekarangan rumah, semua orang menjadi gila. Suara mobil polisi mendekati kerumunan massa, terjadi bentrokan antara aparat polisi dengan massa yang memanas. Massa mulai berhamburan kabur meninggalkan lokasi. Butuh waktu yang cukup lama bagi aparat polisi untuk menertibkan massa.

Suasana yang awalnya ricuh kembali hening, hanya tersisa tangisan abah yang menyaksikan rukonya habis terbakar.

Aku pun bergegas pergi keluar untuk menghampiri abah yang sedang terdiam kaku dan menangis. “Apa yang sedang terjadi abah?”

Baca: Gamang

Abah melihatku dengan mata yang kosong, dan dia hanya diam lalu memelukku. Aku pun mulai menangis melihat tubuh abah yang sudah tua mendapat perlakuan seperti ini.

Salah satu polisi berseragam lengkap datang menghampiri kami. Dia berkata pihak polisi telah mengkonfirmasi bahwa kejadian ini terjadi dikarenakan ada yang memprovokasi, bahwa abah membuat sebuah perkumpulan yang berniat untuk menghancurkan NKRI.

“Oleh karena itu kami berharap bapak bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan,” ujar polisi itu.

Setelah mendengar penjelasan dari aparat polisi, abah bergegas memasuki rumah untuk mengambil mantel lusuhnya.

“Toni tolong jaga rumah sebentar dulu,” ucap abah dengan nada yang sangat lelah.

Baca: Kuli(ah)

Sosok abah mulai menghilang bersama beberapa aparat polisi yang sedang berjaga. Aku mulai berdiri di depan ruko yang telah hangus terbakar. Aku heran kenapa mereka bisa tega melakukan ini semua terhadap kami. Aku mulai menatap langit dan mulai berpikir apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Aku dan abah baru saja pindah ke kota ini beberapa bulan lalu. Kepindahan kami dikarenakan tanah kelahiranku sedang mengalami konflik yang sangat luar biasa. Pasalnya, banyak warga yang memberontak kepada pemerintah. Mereka merasa ditindas oleh negeri sendiri hanya karena perbedaan ras dan kulit. Padahal, banyak kekayaan alam yang dikuras dari tanah asalku. Namun, yang kami dapatkan hanyalah sebuah hinaan dan cacian. Oleh karena itu abah memilih untuk sementara mengungsi sampai kondisi kembali kondusif.

Setelah berhasil melewati beberapa prosedur yang cukup panjang. Kami pun berhasil sampai di sebuah kota. Kami tinggal dalam sebuah rumah yang dibeli abah dari teman lamanya. Awal mula kedatangan kami sudah disambut tetangga dengan pandangan sinis. Pak Narto namanya, dia tinggal seorang diri dan bertemperamen tinggi. Oleh karena itu, abah hanya membalas dengan senyum tulus kepada Pak Narto.

Setelah beberapa hari kepindahan akhirnya aku bisa pergi ke sekolah. Namun, yang aku dapatkan dari sekolah bukanlah teman yang ramah dan santun. Melainkan, pandangan yang menjijikan dikarenakan warna kulitku yang gelap. Sewaktu langkah kaki pertamaku sampai di dalam kelas, wali kelas pun menyuruhku memperkenalkan diri. Setelah aku selesai memperkenalkan diri muncullah pertanyaan yang bertubi-tubi dari teman kelasku. Namun, itu bukan pertanyaan yang aku pikirkan sebelumnya.

“Toni aku dengar kalian memiliki julukan monyet, ya?” tanya temanku sambil meledek.

Satu kelas pun tertawa mendengar ucapan dari kawan sekelasku itu. Sentak situasi itu membuatku terdiam kaku. Ingin rasanya aku berlari keluar kelas dan menyumpah mereka agar ditimpa dengan sebongkah meteor yang besar.

Baca: Time Will Tell How Much I Love You

Awan mulai gelap menandakan akan datangnya hujan. Setetes air pun jatuh, menyadarkanku dari kenangan pahit itu. Aku pun bergegas masuk ke rumah agar tidak kehujanan. Rumah tampak hening dengan tidak adanya abah. Kembali aku membuka tirai jendela dan tertengun melihat hujan yang begitu deras. Lalu muncul sebuah pertanyaan yang mengganggu di benakku.

“Lantas sebenarnya NKRI itu untuk siapa? Ah, sudahlah,” gumamku

Pikiranku mulai lelah dengan semua yang terjadi di hari ini. Aku mengkhawatirkan abah yang berada di luar sana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, pasrah terhadap takdir yang hanya bisa kami lakukan sekarang.

Suara ketukan pintu mulai terdengar dari arah teras rumah, dan aku pun bergegas pergi untuk membukakan pintu. Namun, yang kudapati bukanlah senyuman tulus abah. Melainkan seorang polisi yang mengabarkan kematian abah karena terjadi penyerangan dalam perjalanan menuju kantor polisi.

Aku terdiam kaku mendengar kabar tersebut. Seakan-akan guruh menyambarku dengan sangat keras. Marah dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Air mata yang deras mulai berjatuhan tanpa bisa kubendung lagi.

“Bangsaaat!! Kalian bawa ke mana abahku? Apa kalian belum puas membakar ruko kami? Kembalikan abahku!” teriakku terhadap polisi tersebut.

Editor: Bagus Pribadi
Foto: Gagasan/Muhammad Al-Hafis**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.