Merayakan Toleransi dengan Sikap Intoleran

Penulis: Bagus Pribadi

Gagasanonline.com – Beberapa pekan lalu, sebagian dari kita memperingati Hari Toleransi Sedunia, termasuk saya. Awalnya saya tidak tahu-menahu kapan Hari Toleransi Sedunia diperingati, tapi saya lantas jadi tahu berkat rekan saya yang sedang membuat desain tentang Hari Toleransi Sedunia untuk di-upload di media sosial Pers Mahasiswa di kampus saya. Saya senang ketika pers mahasiswa yang masih memperingati hari-hari yang tidak awam di masyarakat Indonesia, dibandingkan dengan hari peringatan G30S/PKI misalnya. Saya sama sekali tak memperingati hari itu.

Namun, ada hal-hal yang membuat saya merenungi peringatan Hari Toleransi Sedunia ini. Betulkah toleransi bisa terwujud di seluruh dunia? Tak perlu jauh-jauh ke seluruh dunia, di lingkungan saya berada saya saja, masih banyak praktik-praktik intoleran yang terjadi. Baik itu bersentuhan langsung dengan saya, maupun melalui berita-berita yang saya temukan di beranda akun media sosial, seperti Twitter.

Baru-baru ini ada banyak perdebatan di jagat Twitter mengenai Menteri Agama (Menag), dalam Era Reformasi, ini merupakan kali pertama Menag berlatar belakang militer. Tak sampai di situ, Menag yang baru saja dipilih ini kerap menggaung-gaungkan semangat toleransi antar umat beragama. Ia mengatakan bahwa dirinya merupakan “Bukan menteri agama Islam, tetapi Menteri Agama RI”. Hal itu tentu menjadi menarik, meski lebih menarik jika Menag berlatar belakang tak beragama Islam. Namun, ia juga memiliki wacana untuk menangkal radikalisme agama yang katanya sedang marak.

Saya teringat lagi dengan seorang teman di pers mahasiswa yang bertanya, “Toleransi kan bukan tentang antar umat beragama saja kan?” tanyanya. Saat itu saya hanya mengangguk. Melihat apa yang digaung-gaungkan Menag mengenai toleransi antar umat beragama, membuat saya merasa miris. Karena di lain sisi, wacananya dalam menangkal radikalisme agama, membuat pihak-pihak lain keranjingan dan berbondong-bondong mengikuti wacana tersebut. Ini tentu saja mengakibatkan terjadinya diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Baca: Kebijakan Otoriter Dibalik Kata ‘Anti Radikalisme’

Di kampus di mana saya berkuliah, baru-baru ini terjadi praktik-praktik intoleran. Mahasiswi yang memilih untuk mengenakan cadar disuruh melepas cadarnya oleh seorang dosen. Pledoinya, sebagai bagian dari perintah, mereka mengikuti wacana Menag untuk menangkal radikalisme. Padahal sampai saat tulisan ini terbit, belum ada aturan tertulis maupun lisan dari Menag untuk menganjurkan apa-apa saja yang dilakukan dalam menangkal radikalisme kanan.

Juli 2019 lalu, saya mengikuti pelatihan jurnalisme keberagaman yang membuat saya berjumpa dengan Islam Ahmadiyah di Pekanbaru. Mereka menceritakan perlakuan orang lain terhadap mereka setelah mengetahui mereka adalah Islam Ahmadiyah. Hal yang cukup memilukan, mereka diperlakukan tak ramah oleh sesama Islam. Mendengar mereka bercerita, membuat saya nostalgi saat semester satu lalu membaca Maryam karya Okky Madasari.

Tentu ada banyak kasus tentang orang-orang yang beragama sama saling mengucilkan hanya karena beda aliran. Apa yang dilakukan seorang dosen kepada mahasiswa bercadar dan perlakuan yang diterima Islam Ahmadiyah di Pekanbaru, menggambarkan ketimpangan nalar orang-orang yang sedang menggaung-gaungkan toleransi antar umat beragama. Mereka berjuang untuk toleran kepada agama lain, namun diskriminatif kepada orang yang beragama sama dengannya.

Padahal, masih banyak sekali praktik-praktik intoleran antar umat beragama. 2015 lalu, konflik agama terjadi di Singkil, Aceh yang menyebabkan pembongkaran gereja-gereja. Ada juga gereja yang dibakar karena dianggap tak memiliki izin. Empat tahun sudah berlalu, orang-orang beragama Kristen di Singkil, Aceh masih tak memiliki gereja. Mereka menyulap tenda dan tiang menjadi gereja di belantara kebun kelapa sawit.

Baca: Demokratisasi Relasi Sipil-Militer di Indonesia

Berjarak sekitar tiga tahun dari kejadian intoleran yang terjadi di barat Indonesia, juga terjadi di sebelah timur Indonesia dengan kasus yang berbeda. Pada 2018, di Jayapura, warga yang beragama Kristen keberatan dengan adanya menara masjid. Mereka menolak pembangunan menara yang terlalu tinggi dan menolak azan menggunakan pengeras suara.

Ada alasan mengapa saya mengambil dua contoh kasus intoleran yang berasal dari Aceh dan Papua. Selain karena lagu berlirik ‘Dari Sabang Sampai Merauke’ melekat di kepala saya, seperti mendengar kehebatan dan kepintaran BJ Habibie yang dipaksakan di hidup saya sejak kecil. Juga karena dua daerah itu saya rasa cukup merangkum praktik intoleran yang terjadi di Indonesia.

Bukan berarti hanya dua daerah itu saja yang kerap kali melakukan praktik intoleran. Contoh, di Riau, Agustus 2019, saya liputan tentang pelajar yang bersekolah di sekolah negeri, tetapi siswinya semua memakai jilbab, apapun agamanya. Tak hanya itu, di sekolah negeri tersebut hanya ada satu agama yang masuk ke dalam pelajaran. Bukan bermaksud menoleransi, akan tetapi jika itu dilakukan di sekolah swasta dengan yayasan tertentu, menjadi tak terlalu rumit. Masalahnya hal itu dilakukan di sekolah negeri yang negaranya mengakui enam agama.

Istilah toleransi antar umat beragama saja tak berjalan mulus dengan praktik-praktiknya, bagaimana dengan orang-orang yang tak memiliki agama? Sudah dipastikan tak ada tempat untuk orang-orang itu. Karena toleransi hanya dengan umat beragama saja.

Praktik-praktik intoleran juga terjadi karena rasisme. Indonesia yang memiliki beragam suku tak bisa membendung sifat-sifat rasisme. Bagaimana di 2019 ini mencuat konflik Papua yang berawal dari ujaran bermuatan rasisme kepada mahasiswa asal Papua di Surabaya. Konflik ini berkepanjangan sehingga pemerintah Indonesia mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata dari kalangan Polri dan TNI. Saya selalu tak percaya dengan penyelesaian suatu masalah dengan cara pendekatan militerisme.

Baca: Tolak Militeristis juga Tandingan Budaya Patriarki dalam Politik Emak-Emak

Kemudian kasus yang dekat sekali dengan saya, masih di kampus di mana saya berkuliah, ujaran bermuatan rasisme yang dilontarkan seorang dosen kepada mahasiswa bersuku Batak. Ini menjadi sangat miris, ketika saya mengetahui dosen tersebut dengan rekam jejak ilmu sosial yang apik. Tapi bisa-bisanya rasis.

Berhubung yang menggerakkan saya untuk menulis ini ialah hari toleransi sedunia, rasanya kurang tepat hanya menuliskan praktik-praktik intoleransi di Indonesia saja. Seakan-akan saya mencintai Indonesia. Tepatnya Jumat, 15 Maret 2019 terjadi penembakan kepada umat Islam yang sedang melaksanakan Salat Jumat di masjid, di Christchurch, Selandia Baru.

Mengutip tirto.id, pelaku penembakan bernama Brenton Tarrant itu, mengatakan “Penyerangan di Selandia Baru akan memusatkan perhatian pada kebenaran serangan terhadap peradaban kami, tidak ada tempat di dunia ini yang aman, para penyerbu berada di semua tanah kami, bahkan di daerah-daerah terpencil di dunia dan tidak ada tempat yang aman dan bebas dari imigrasi”. Lanjutnya, “Kita harus memastikan keberadaan rakyat kami dan masa depan anak-anak kulit putih. Saya hanya berharap saya bisa membunuh lebih banyak penjajah, dan lebih banyak pengkhianat juga.”

Dari apa yang disampaikan Tarrant, jelas sekali bahwasanya ia merupakan orang yang anti-imigran. Saya kira apa yang dikatakannya persis seperti pemikiran-pemikiran Neo-Nazi. Menarik ke belakang, selain urusan yang berkaitan dengan rasial, yang dilakukan Tarrant juga berlandaskan karena kecintaan tanah air secara membabi-buta. Orang-orang seperti Tarrant, kerap kali menggaung-gaungkan cinta tanah air secara harga mati, dan cacatnya pemikirannya terhadap nasionalisme. Contohnya seperti Hitler yang menggunakan narasi nasionalisme untuk menumpas orang-orang Yahudi di Jerman, yang mengakibatkan genosida dengan korban sekitar 15 ribu jiwa.

Ada banyak bentuk intoleran dalam aspek-aspek kehidupan. Semuanya dekat dari kehidupan kita. Mulai dari agama, ras, gender, status sosial, dan lainnya. Dari apa yang saya baca, lihat, dan dengar selama ini, diskriminasi terhadap suatu golongan terjadi karena mereka minoritas. Bagaimana di tiap kasus dan tiap daerah, terjadinya intoleran dilakukan oleh orang-orang berkedudukan sebagai mayoritas.

Saya jadi ingat kata-kata Bhagavad Sambhada di kanal video Asumsi.co yang mengatakan, “Toleransi itu wacananya mayoritas, jadi enggak bisa diharapkan karena yang bisa ngasih toleransi cuma mayoritas. Jadi jangan terlalu banyak berharap sama toleransi”.

Saya pikir, untuk minoritas, sekeras apapun perjuangan mereka bersikap toleran kepada yang kedudukannya juga minoritas atau kepada mayoritas untuk menjaga istilah toleransi, pada akhirnya mayoritas dengan power-nya akan melakukan intoleran juga terhadap minoritas. Karena minoritas tak bisa berbuat intoleran, sedangkan mayoritas bisa berbuat intoleran menggunakan power-nya.

Pada akhirnya, saya berpikir ada baiknya untuk memandang hidup dan bersikap seperti tokoh fiksi Mersault-nya Albert Camus. Memandang segala sesuatunya tak secara berlebihan.

Editor: Hendrik Khoirul
Foto: muhsinlabib.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.