Kenangan Anic

Penulis: Khoirotun Nisa

Gagasanonline.com – “Jalan ini ramai, aku tidak suka. Susah kali menyeberang,” gerutu Anic.

Di bawah tembok jembatan alun-alun bertuliskan ‘Bumi Pasundan tercipta saat Tuhan sedang tersenyum’ Anic berada. Berjalan sambil menendang batu kecil yang menghalangi kakinya berjalan.

Melihat kanan-kiri lalu menyeberang ke arah taman sekitar alun-alun kota Bandung. Duduk di kursi taman sambil menelusuri pemandangan sekitar. Tidak ada yang ia lakukan selain bersenandung, sepertinya ia sedang bahagia, dan sedikit heran, kenapa dia ada di sini.

Lima belas menit berlalu ia duduk di kursi, ia bosan. Lalu berjalan ke arah tukang balon. Hampir mendekat, ia melihat banyak anak kecil sedang bermain balon. Tidak ia hiraukan. Tangannya tergerak untuk membeli balon.

“Mas yang doraemon satu,” ucap Anic yang langsung memberikan uang.

“Terima kasih.”

Membawa balon di tangannya, ia tau tempat ini. Tapi ia lupa kapan ia ke sini. Anic berkeliling sekitar taman sejauh 500 meter, ke arah danau kecil.

Anak itu sendiri, melempar batu ke danau lalu menghitung sudah batu ke berapa kah itu yang ia lempar. Lalu ia belok ke arah penjual bunga.

“Pak, bunga apa yang paling cantik?” tanya Anic.

“Ada Lily, gratis untuk nona yang manis,” ucap si bapak tersenyum sambil memberi bunga.

Anic berjalan ke arah taman lagi, sambil membawa balon Doraemon dan bunga Lily, duduk di tepi taman. Dari kejauhan ia melihat sebuah rumah yang ingin dihancurkan, Anic merasa terulangi.

Ia bergerak menuju rumah itu, lurus. Semua kendaraan tiba-tiba langsung berhenti saat ia menyeberang. Ia kenal rumah ini, ini rumahnya. Ia melihat ayahnya keluar dari rumah disusul ibunya, mereka seperti menangis.

“Dek, cepat sini pulang,” teriak ayahnya sambil melambai ke arah Anic, dan dibalas anggukan. Anic tidak paham, mereka bertiga berada di sebuah rumah kecil, lumayan kecil.

Di jalan, ayahnya bilang “Dek kita pindah, rumah yang itu bukan punya kita lagi,” tunjuk ayah ke arah rumah itu. Karena rumah itu hanya berbeda berapa meter dari rumah baru mereka. Samar tapi terlihat nyata.

Sebulan kepindahan,ada yang berubah. Ibunya sering sakit, rumah ini kecil dan berada di belakang Tempat Pembuangan Akhir, pantas jika kadar kesehatan di sini rendah.

Dua bulan kepindahan, ayahnya sering minta diantar kerja dan Anic menuruti. Setiap sepulang mengantar kerja, ia berjalan-jalan menuju taman alun-alun kota. Membeli balon Doraemon dan bunga Lily, lagi. Dan menjadi kebiasaannya setiap dua hari sekali.

Tiga bulan kepindahan, semuanya masih membiasakan. Petang, Anic menjemput ayahnya kerja, membawanya ke rumah seperti biasa, istirahat, salat lalu ngopi.

Ayahnya duduk di ruang tamu sambil ngopi, tapi seketika ayahnya meronta kesakitan. Memanggil ibunya, “Bu, tolong ini ya Allah,” teriak ayahnya sambil memegangi kepala.

“Kenapa, yah?” tanya ibunya sambil memegang kepala ayahnya, tapi ayahnya malah membentak.

“Sakittttt Bu!!!!!!”

Anic yang melihatnya sedikit ngeri, tapi ia menepis itu. Ayahnya sering bercanda, mungkin itu termasuk drama ayahnya. Ayahnya pernah pura-pura pingsan, agar tak jadi diajak ke acara kondangan oleh ibunya dan membuat ibunya ngambek seharian. “hahahah,” Anic terkekeh.

“Ambil gula pasir tolong Buuuuu!!!! sakit ini.”

Anic yang mendengar itu jadi sedikit panik. Ibunya mengambil gula pasir lalu menidurkan ayahnya di atas bantal. Ayahnya muntah, lalu berbicara tidak jelas.

“Swaaaaaa….kittttt ya Allah,” Anic terkejut lalu melihat ayahnya, mulutnya mereng.

Anic menepis pikiran buruk, ia yakin ayahnya bercanda. Ibunya sangat panik dan terus memijit kepala ayahnya, tapi ayahnya terus meronta kesakitan.

“Swaaaaaa…..kitttt bwuuu ya Allah,” teriak ayahnya lalu diselingi muntah dan tiba-tiba tak sadarkan diri.

Anic yang melihat itu langsung terduduk, bohong jika ini drama. Anic menangis, menangis sejadi-jadinya. Panik. Menelpon saudara, memanggil tetangga. Ibunya menangis. Anic lebih ikut menangis.

Ayahnya muntah lagi. Anic lega, ayahnya masih sadar. Lalu sepersekian detik, ayahnya pingsan lagi. Mereka membawa ayahnya ke rumah sakit, ke ruang IGD.

Satu jam di sana, tidak ada pergerakan, tahu kenapa? karena ibu Anic masuk menggunakan asuransi kesehatan. Ibunya mengamuk.

“Rumah sakit sialan!!! saya bayar ini semua dengan uang, tapi tolong suami saya!!” teriak ibunya kepada perawat yang mengatakan bahwa semua dokter sedang sibuk, tapi yang Anic dan ibunya lihat sejak tadi dokter berlalu lalang sambil mengobrol.

Ibunya langsung membawa ayahnya keluar rumah sakit, menuju rumah sakit yang lebih menghargai pasien, dan langsung dicek dan diproses.

“Maaf bu, peralatan di sini kurang lengkap. Tapi kami bisa buatkan surat rujukan untuk dibawa ke rumah sakit yang lebih memadai,” ucap perawat yang juga kelihatan panik melihat keadaan ayah Anic.

Pukul 11 malam, ayah Anic dibawa ke rumah sakit yang memadai dan langsung masuk ruang ICU. Ibunya menangis. Anic disuruh pulang menyiapkan barang-barang yang di perlukan selama di rumah sakit lalu istirahat untuk malam ini. Pagi hari, Anic harus pergi ke kedai bunga itu lagi. Bukan untuk bunga Lily, tapi ia membeli bunga yang lain. Tidak tau untuk apa.

“Bunga apa ya?” tanya Anic pada dirinya sendiri.

“Bunga Kamboja aja kak,” ucap anak laki-laki yang datang dari arah dalam kedai, lalu ia membeli bunga Lily.

Anic menuju rumah sakit, terlihat keluarganya sangat ramai. Menangis, Anic kira sesuatu yang buruk terjadi. Ternyata ibunya sedang melepas rindu dengan keluarga yang sudah lama tak ditemuinya.

“Stroke total. Kata dokter kecil kemungkinannya dek,” ucap ibunya tiba-tiba sambil memeluk Anic.

Anic menangis, sejadi-jadinya. Ia masuk ke ruang ICU, melihat ayahnya terkujur lemas dan pucat. Anic menangis, berbicara.

“Yah Anic di sini, ayah bercanda kan? hahaha kayak biasa,” ucap Anic dengan suara serak setetes air keluar dari mata ayahnya, ayahnya menangis.

Anic tersenyum. “Anic tau ayah dengar, cepat bangun. Ayo kita jalan-jalan. Kemarin kan gak jadi,” lagi lagi Anic parau mengucapkan nya.

Esoknya, pukul 7 Anic berkemas dan menuju rumah sakit lagi. Ia mendengar kabar dari saudaranya kalau ayahnya kritis. Tadi malam Anic pulang, mengemasi rumah lalu istirahat.

Pikirannya kacau, ia tak berharap banyak. Ia hanya berdoa, ya Allah selamatkan ayah. Anic sayang ayah.

Di jalan, Anic menangis. Tiba-tiba. Brukkkkkkk!!!

Sebuah motor menabraknya dari arah kiri, laju. Anic terjatuh ke arah kanan, membentur sesuatu. Mati rasa. Kakinya sakit, matanya kabur, pusing, lalu gelap, Anic pingsan.

Satu jam setelah pingsan, Anic pun terbangun. Anic mencium bau obat-obatan, kakinya ngilu, ia melihatnya dan terkejut. Kakinya telah dijahit.

“Lukanya cukup dalam, mungkin tergores pedal motor,” ucap perawat tiba-tiba.

Seseorang yang menabraknya membawa ke klinik terdekat, tapi ia langsung teringat,  “Di mana motor saya?” tanya Anic.

“Ada di luar.”

“Kalau begitu terima kasih banyak, saya permisi,” ucap Anic tergesa, dan kemudian ia tidak seimbang dan terjatuh. “Aw!!” ringis Anic. Sangat sakit, badan-badannya seperti remuk.

“Empat jahitan. Mungkin akan terasa nyeri. Ini obat penghilang nyerinya,” ucap perawat itu lagi dan dibalas anggukan oleh Anic.

“Terimakasih sekali lagi.”

Anic langsung bergegas menuju rumah sakit, tak memikirkan kakinya. Membawa motor ugal-ugalan dengan wajah yang terlihat sembab.

Sampai di rumah sakit, ibunya terkejut, melihat Anic yang terbata-bata jalannya. Tapi ibunya langsung menghambur ke Anic.

“Udah gak ada, dek.”

Anic dihantam ribuan pisau di jantungnya. Ia luruh. Kakinya lemas. Semua orang menangis. Matanya kabur. Ia langsung lari ke dalam ruang ICU, dan melihat ayahnya.

“Ayahhhhh!!!! bangunn!! ini Anic yah, Anic datang. Ayah tadi Anic jatuh liat nih kaki Anic yahhhh!!!” ucap Anic sambil memukul-mukul ayahnya.

Ayahnya hanya diam, orang tua itu telah pucat dan kuning sejak dua hari yang lalu.

Tak ada pembicaraan terakhir antara mereka. Terakhir ayahnya sedang ngopi setelah salat Maghrib, dan tidak ada berbicara apa-apa.

Ia terjatuh, terduduk di lantai. Ia hancur. Seseorang memeluknya.

“Dek, dek ya Allah bangun dek!!! kok nangis sih?”

“Dek! oi!”

Ucap nenek Anic berteriak, ia menggoyang-goyangkan badan Anic. Tak lama, Anic tersentak lalu beristighfar.

“Astaghfirullah.” Keringat dingin mengucur di leher Anic, badannya panas dingin, ia kegerahan.

“Kenapa loh dek? katanya mau beli paket kok malah tidur?” tanya neneknya kesal.

Iya Anic mimpi, kejadiannya terlihat nyata dan detail. Anic terus beristighfar, lalu pergi ke dapur, duduk dan meminum air putih agar lebih lega.

Editor: Bagus Pribadi
Foto: Internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.