Kebijakan Otoriter Dibalik Kata ‘Anti Radikalisme’

Penulis: M. Alhafis**

Gagasanonline.com – Kampus Islam seharusnya berpedoman pada peraturan Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS) dalam membuat sebuah kebijakan kampus. Namun, berbeda dengan UIN Suska Riau, beberapa kebijakan Rektor Akhmad Mujahidin dalam membuat keputusan tidak berlandaskan peraturan DIKTIS. Salah satunya terkait kebijakan Kode Etik penggunaan pakaian yang belum lama ini beredar draft-nya di kalangan mahasiswa, (draft yang sudah ditandatangani diklaim palsu). Dalam draft tersebut di antaranya berisi kewajiban mahasiswi menampakkan wajah dan mahasiswa dilarang menggunakan celana cingkrang.

Kebijakan tersebut dibuat dengan alasan untuk menghindari sikap radikal yang ada di lingkungan Kampus Madani. Dari hasil penelitian Kementerian Agama (Kemenag) UIN Suska Riau memiliki tingkat kewaspadaan paling tinggi terhadap moderasi beradab. Maka untuk mengatasi hal itu rektor membuat sejumlah Surat Keputusan (SK).

Baca: Penggunaan Uang Kertas Semakin Tak Relevan

Namun, faktanya beberapa mahasiswa UIN Suska menganggap kebijakan rektor tersebut sebagai langkah pimpinan kampus yang bersifat otoriter. Hal ini didasari dari kebijakan yang dianggap mematikan demokrasi yang berada di kampus. Salah satu kebijakan yang dianggap otoriter adalah pemilihan ketua Dewan Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema) melalui ad hoc, calon ketua Sema dan Sema mendaftarkan diri ke pihak kampus dan kemudian pihak kampus akan membentuk tim ad hoc untuk memutuskan siapa yang akan menjadi ketua Sema dan Dema. Dengan adanya keputusan ini, mahasiswa tak bisa lagi memilih calon ketua Sema dan Sema melalui suara mereka.

Oleh karena itu, pada bulan Juni lalu mahasiswa turun ke Gedung Rektorat untuk melakukan aksi menuntut kebijakan otoriter kampus. Aksi ini sempat memanas dikarenakan mahasiswa dan rektor tidak menemukan titik temu. Beberapa mahasiswa sempat dilaporkan ke kepolisian karena dianggap melanggar Kode etik. Hingga akhirnya mahasiswa hanya bisa diam dan mengikuti kebijakan tersebut. Tidak diketahui sampai sekarang sebab mahasiswa yang semula menolak kebijakan tersebut menjadi diam. Apakah mahasiswa sudah lelah dan pasrah dengan keputusan rektor atau aksi tersebut hanya sebatas pentas ajang unjuk rasa  semata. Tidak ada yang tahu penyebab pastinya.

Baca: Demokratisasi Relasi Sipil-Militer di Indonesia

Tidak lama ini juga terjadi diskriminasi terhadap mahasiswa bercadar dan mahasiwa yang bersuku Batak yang dilakukan oleh oknum kampus. Permasalahan dipicu dari seorang mahasiswa mendatangi oknum tersebut untuk meminta kejelasan terkait peraturan untuk melepaskan cadar, yang mana oknum kampus tersebut mengakui bahwa aturan tersebut sudah disahkan oleh pihak kampus. Namun, pihak kampus sendiri menyatakan bahwa peraturan tersebut masih dalam tahap wacana. Sehingga terjadilah dialog antara oknum kampus tersebut dengan mahasiswa. Di tengah-tengah dialog oknum kampus tersebut sempat mengatakan kata-kata rasis terhadap mahasiswa suku Batak yang sempat direkam oleh mahasiswa tersebut. Rekaman itu kemudian tersebar di kalangan mahasiswa, hingga akhirnya oknum tersebut membuat klarifikasi permohonan maaf kepada mahasiswa batak yang berada di Riau.

Hal ini menunjukkan kurang adanya koordinasi yang baik dari pihak kampus sendiri dalam membuat sebuah kebijakan. Sehinggga, membuat mahasiswa sulit menentukan pernyataan siapa yang benar. Lalu apakah semua kebijakan kampus sudah sesuai dalam mengatasi sikap radikal di lingkungan kampus.  Dalam kasus oknum kampus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan rektor hanya berat kepada mahasiswa. Sedangkan, belum ada kebijakan yang mengatasi radikalisme yang dilakukan oleh dosen dan pegawai kampus lainnya. Kondisi inilah yang sedang dilalui oleh kampus UIN Suska saat ini.


Editor: Hendrik Khoirul
Ilustrasi: persmanifest.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.