Gamang

Penulis: Delfi Ana Harahap*

Gagasanonline.com – Hujan reda, kubangan air di mana-mana, jalanan basah, licin juga. Wilda, temanku, tumben membawa motor hari itu, aku mengikutinya dari belakang. Pelan, ia lebih pelan dariku membawa kendaraan. Selepas azan magrib kami pisah haluan, “Hati-hati,” ucapku padanya. “Kau juga hati-hati,” balasnya.

Aku berjalan lurus ketika langit sudah gelap, kilat dan petir kembali datang. Tak lama gemiris, lalu kembali hujan lebat datang. Aku berhenti sejenak, di halte bis Trans Pekanbaru, tak ada orang. Aku merasa jika aku salah mengambil jalan pulang, gelap dan hujan membuyarkan pikiran dan ingatan. Aku kelabakan, kubuka maps di gawai, gawai tersiram hujan. Aku mengikuti arah yang tampak pada layar gawai, pelan-pelan kugas kendaraan.

Baca: Kuli(ah)

Aku masuk ke dalam gang kecil dan gelap. Tak banyak orang lewat, mungkin akibat hujan yang semakin melebat. Aku terus berjalan maju, lampu jalan tak terlihat, orang juga tak kunjung lewat. Nyaliku melemah, takut ditangkap orang jahat, kuputar arah mencari jalan yang ada lampunya. Maps menunjukkan jalan yang berbeda dari sebelumnya, kuikuti jalan itu. Kulalui pasar yang sudah tak ada orang, sampah bertebaran di pinggir jalan, bau amis jalan bercampur bau busuk ikan dan sayuran.

Aku terus berjalan maju, air memenuhi jalanan dengan aspal berlubang, hingga aku sampai pada sebuah gang, mobil truk besar menghalangi jalan, orang-orang menunggu dengan tidak sabar. Aku juga tidak sabar, kakiku tak berhenti bergerak, jariku berkali-kali mengetuk setir kendaraan, lama sekali, sampai kata “Anjinglah” terlontar berkali-kali. Gawaiku semakin lama semakin basah,  dan jam sudah pukul 19.00 saja. Ketika sudah terbebas dari halangan truk besar, aku kembali memasuki gang, entahlah, kembali gelap dan tak banyak orang lewat. Hujan melebat, sampai-sampai celana dalamku ikut basah dibuatnya. Jujur saja aku mulai ketakutan, aku yang jarang sekali beribadah dan berdoa seketika merapalkan doa-doaku pada sang pencipta, “Ya Tuhan aku takut mati, tunjukkan aku jalan pulang yang benar,” salah satu doa yang kuucapkan.

Ketika aku berhenti di pembelokan antara simpang tiga, kembali aku cek gawaiku, sinyal tak bagus. Kucoba berjalan ke kiri, penunjuk arah tak bergerak. Aku terus berjalan di dalam gang sempit dengan banyak rumah orang, namun kurang lampu penerang jalan. Aku terus berjalan maju, hingga terlihat sebuah lampu jalan berdiri tegak di samping kuburan, kuburan-kuburan itu terlalu dekat ke tepi jalan, nisan-nisan berdesakan tanpa ruang, menyesaki batas semen selokan pembatas antara jalan dan kuburan. Kurasa mayat-mayat dalam tanah akan susah untuk bergerak.

Baca: Time Will Tell How Much I Love You

Aku terus berjalan maju, tak terasa waktu juga berjalan maju. Sampailah aku pada sebuah kolong jembatan layang yang tak kukenali, kolong jembatan ini kumuh. Banyak sampah bertebaran, anak-anak punk dengan pakaian hitam duduk sambil mengepulkan asap ke langit, kurasa mereka menunggu hujan reda. Seorang bocah lelaki dengan pakaian kaos hitam duduk sendirian di pinggir kolong jembatan, tanpa orang tua, tanpa teman. Entah apa yang sedang ia lakukan. Aku bergidik ngeri berada di kolong jembatan remang itu, kuputar kendaraan kembali. Selanjutnya telfon genggam tak bisa dihidupkan, aku kelabakan, darah seolah hilang dari badan. Aku terdiam sesaat, hampir menangis tapi masih bisa kutahan. Hujan tak kunjung reda, celana dalamku sudah basah seluruhnya. Jari-jari tanganku mulai keriput dan pucat pasi. Aku memilih melewati jalanan yang terang, sampai akhirnya jalan itu menghantarkanku ke jalan raya besar. Aku disambut lampu-lampu terang, gedung-gedung tinggi yang sebagaian sudah berdiri megah, sebagian lagi masih berupa kerangka. Gedung-gedung ini sangat menyesaki ruang-ruang kota!

Banyak kendaraan roda dua dan empat saling berebut jalan, kebut-kebutan dan saling memberikan klakson sebagai sindiran. Aku semakin jauh berjalan, hujan masih belum berhenti. Jalanan banjir semata kaki, semua kendaraan mengantri. Kulihat seorang bocah lelaki duduk seorang diri di pinggir trotoar. Ia hanya mengenakan pakaian putih tipis, serta payung sebagai pelindung dari hujan, sebuah ember kecil terduduk di sampingnya.

Sampailah aku ke sebuah jalan raya yang sepi dan gelap, aku memutar arah menghampiri bapak-bapak warung kopi yang sedang asik dengan gawainya. “Kalau mau ke Panam lewat mana ya, Pak?” Tanyaku. “Ini mutar lagi, lawan arah, nanti lurus aja terus, nanti kalau udah tembus jalan besar naik ke fly over, dua kali fly over lagi,” tuturnya.

Aku mengikuti arahannya, jadilah aku melewati fly over pertama. Aku tidak asing dengan  fly over itu, tapi karena gelap dan hujan ia menjadi asing bagiku. Setelah fly over pertama aku kebingungan harus kemana. Jadilah aku berhenti di warung pecel lele, dua abang-abang yang menjaga. “Bang kalau mau ke Panam lewat mana ya? Tanyaku. “Tinggal lurus aja, nanti naik fly over, lurus terus udah Panam,” jawabnya.

Baca: Kenangan Anic

Aku mengikuti arahannya, dan benar aku sampai di fly over yang sangat kukenali, karena merasa sudah aman, aku mengendarai motorku lelet sekali. Banyak pertanyaan timbul atas semua yang sudah kulewati beberapa jam ke belakang. Ada dua sisi kehidupan yang saling bertolak belakang, elit dan rendahan. Pasar kumuh, kolong jembatan, anak punk, bocah dengan payung di pinggir trotoar dan kuburan sempit. Lalu gedung-gedung tinggi itu, mall, hotel dan banyak lagi. Juga tiga jembatan layang.

Apakah 10 tahun mendatang mereka akan tetap serupa atau akan lebih berbeda? mungkinkah 10 tahun lagi kuburan sudah tidak ada lagi di sana, mayat akan dihanyutkan ke sungai atau dibakar karena tanah sudah habis digerus pembangunan? Apakah jika anak dengan payung itu merapalkan doa setiap hari akan menjadikannya orang kaya? Apakah gedung-gedung tinggi tidak akan bertambah jumlahnya atau malah beranak pinak dan menyesaki seluruh isi kota? Apakah 10 tahun mendatang kehidupan tetap dipenuhi polusi, politik dan ekonomi? Di mana si elit saling berebut peluang mengeruk kekayaan, si rendahan semakin mengeksploitasi bocah-bocah untuk mengemis di jalan? Apakah 10 tahun mendatang kita akan menjadi kalangan elit atau rendahan yang saling membenci, saling membohongi, saling mematikan karakter dan saling menghancurkan? Ahhh sudahlah, tak usah dijawab!

Pekanbaru, 22 November 2019

Editor: Hendrik Khoirul
Foto Ilustrasi: Gagasan/Hana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.