Penulis: Teguh Arif Ramadhan*
Gagasanonline.com – Dua Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam berinisial F dan Z mengaku disuruh melepas cadarnya ketika melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS) pada Selasa, 19 November 2019 yang diampuh oleh Wakil Dekan I Fakultas Ushuludin (FU), Husni Thamrin dalam mata kuliah Sosiologi. F dan Z mengaku terpaksa melepas cadarnya karena jika tidak menurutinya, mereka tidak diizinkan untuk mengikuti ujian, Kamis (21/11/2019).
”Bapak itu menyuruh melepas cadar kalau mau ikut ujian, kalau tidak kami disuruh keluar, jadi kami lepas cadar,” kata F.
F juga mengatakan merasa takut dan tidak berani menanyakan alasan mereka harus melepas cadar ketika ujian. Mereka juga mengaku pernah disindir-sindir soal cara berpakaian karena memakai cadar.
“Saat itu kami hanya diam saja,” singkatnya.
Z menceritakan pengalamannya ketika pertama kali membuka cadar di hadapan teman-teman di kelas. Tubuhnya gemetar karena tak terbiasa dengan menampakan wajahnya, ia merasa ada yang hilang dari dirinya. Ia melanjutkan, setelah itu WD I Husni Thamrin segera keluar kelas setelah membagikan kertas ujian karena harus menghadiri rapat.
“Ada sekitar 10 menit kami tidak bercadar. Tapi syukur teman-teman kami menghargai kami dengan menundukan pandangannya,” terangnya.
Baca: UIN Suska Riau Tak Ramah dengan Mahasiswi Bercadar
F mengaku ia sudah bercadar selama dua tahun. Ia juga mengatakan kedua orang tuanya sekarang sering menguatkan dan menyemangatinya untuk bercadar.
“Tapi dalam masalah ini, orang tua saya menyarankan untuk memakai masker saja,” katanya.
Mereka juga mengaku disuruh melepas cadar secara tidak ramah dengan cara menunjuk-unjuk mereka. Z berharap masalah ini bisa diselesaikan dengan baik-baik.
“Baiknya pimpinan kampus bisa lebih bijak dalam mencari solusi untuk keamanan dan kenyamanan bersama. Izinkan kami untuk memenuhi hak asasi sebagai manusia,” harapnya.
Menanggapi hal ini Wakil Dekan I FU, Husni Thamrin mengatakan tidak pernah memaksa mahasiswi untuk melepas cadarnya. Ia mengaku hanya mengikuti aturan yang tercantum di Surat Edaran Rektor salah satu poinnya tertulis, “berjilbab yang dapat menutupi dada dan wajah terbuka”.
“Kita kuliahkan ada aturan, jadi harus mengikuti aturan kampus. Kalau tidak, ya pindah kampus saja,” katanya.
Baca: UIN Suska Riau Kerjakan Dosen Tak Selaras dengan Kompetensi Pendidikan
Ia menuturkan surat ini disahkan pada 17 November 2019 lalu. Namun surat ini belum bisa diedarkan karena belum diberi cap legalisasi. Husni menjelaskan Surat Edaran Rektor ini juga akan direvisi pada 21 November 2019.
“Dalam revisi ini hanya menjelaskan poin-poin yang kurang jelas dan ada penambahan pasal,” jelasnya.
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Anggela Safitri menanggapi, bercadar merupakan hak asasinya sebagai manusia. Menurutnya bercadar merupakan pilihan hidup untuk dirinya sendiri, sehingga tidak boleh ada pelarangan.
“Jika Surat Edaran Rektor tersebut disahkan, saya akan tetap bercadar, akan mempertahankannya,” tegasnya
Cadar Dikaitkan dengan Radikalisme
Wakil Rektor III Promadi mengatakan pelarangan bercadar sudah berlaku setelah ditetapkannya peraturan tersebut. Aturan tersebut juga dibuat untuk mengurangi tingkat kewaspadaan radikalisme di UIN Suska Riau.
“UIN Suska kan dikategorikan tinggi tingkat kewaspadaan radikalismenya,” kata Promadi.
Soal mahasiswi yang mengatakan pelarangan ini melanggar hak asasinya sebagai manusia, Promadi menanggapi di mana seseorang berada harus mengikuti aturan di tempat tersebut. Ia juga mengaku belum berdiskusi dengan mahasiswa soal peraturan baru ini.
“Hanya mengikuti aturan dari Kementrian Agama saja,” singkatnya.
Dilansir dari Majalah Tempo Edisi 28 Oktober-3 November 2019, Menteri Agama Fachrul Razi sedang menyusun program untuk mengatasi isu radikalisme. Termasuk, kata Fachrul, merumuskan tahapan-tahapan sebelum masuk tahap penindakan. “Ada tahap-tahapnya, tidak tiba-tiba ngehantemin orang,” ujar Fachrul.
Baca: Mahasiswa Keluhkan Pelayanan Pegawai Fakultas
Husni berkata Surat Edaran Rektor dibuat berdasarkan kesepakatan Kementerian Agama (Kemenag), Menteri Dalam Negeri (Mendamgri) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
“Orang yang pakai cadar itu tidak jelas wajahnya. Cadar itu budaya kaum Syiah dan kebanyakan mahasiswa tidak tahu soal itu. Cadar ini juga jadi salah satu indikator UIN Suska Riau dianggap sebagai kampus radikal,” tutur Husni.
Ia menuturkan ada dua jenis orang bercadar, pertama bercadar hanya mengikuti orang lain dan kedua bercadar karena benar-benar berideologi ekstrim. Ia juga bercerita soal kasus bom bunuh diri yang pelakunya orang Islam, menurutnya kasus-kasus seperti itu yang membuat cadar tampak buruk.
“Itulah ideologinya, tahan mati membunuh dan berharap masuk surga, seperti melakukan bom diri,” jelas Husni.
Baca: Tak Miliki IPAL, Limbah FPP Disimpan di Jerigen
Dikutip dari Majalah Tempo Edisi 28 Oktober-3 November 2019, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menuturkan untuk tidak menyamakan radikalisme dengan islamisme. Jelasnya, radikalisme dikaitkan dengan Islam oleh pihak yang menggunakan agama untuk mengganti sistem keagamaan, sistem ideologi. Ia melanjutkan, islamisme tetap berideologi Pancasila dengan NKRI, dan penganut islamisme adalah orang yang ingin punya ciri khas sendiri sebagai muslim, tapi tidak radikal.
“Pakaian itu soal selera. Saya tidak pakai ukuran itu, tapi dari perilaku dan pandangan,” terang Mahfud.
Menurut F, radikalisme tidak bisa dinilai dari tampilan seseorang, seperti pemakaian cadar. Lanjutnya, orang yang tak bercadar pun bisa jadi anti-NKRI dan anti-Pancasila.
“Sedangkan aku bercadar masih mengikuti Indonesia dan tidak ingin membuat negara sendiri,” tutupnya.
Reporter: Teguh Arif Ramadhan*, Tika Ayu, Syahidah Azizah Sipayung, Winda Oktavia, Hendrik Khoirul
Editor: Bagus Pribadi
Foto: Gagasan/Rindi Ariska**
Jurusan AF dan fakultas Ushuluddin adalah yang paling Radikal dalam kebebasan berfikir dan berekspresi. Kok sekarang jadi alergi ya dg kebebasan expresi. Sedih aku sebagai alumni.