Demokratisasi Relasi Sipil-Militer di Indonesia

Penulis: Jean Loustar Jewadut*

Gagasanonline.com – Gejolak politis merupakan bagian dari sebuah proses demokratisasi dan akan senantiasa mewarnai sepak terjang kehidupan masyarakat demokratis. Prinsip yang berlaku antara masyarakat dan negara adalah “society wherever possible, state wherever necessary”, semua yang bisa dikerjakan oleh masyarakat diserahkan kepadanya, negara hanya campur tangan bila diperlukan. Masyarakat demokratis perlu dilatih untuk menghadapi dan menyelesaikan gejolak-gejolak dan masalah-masalah publik dengan menempuh cara-cara yang aman dan damai melalui dialog, diskusi, dan debat yang menjunjung tinggi kultur akademik. Sudah saatnya, bukan otot dan kepalan tangan yang diandalkan dalam kehidupan masa kini, melainkan otak, suara, dan gerakan pena masyarakat. Apakah cita-cita ini sungguh sudah terwujud?

Baca: Refleksi Semangat Pahlawan Mahasiswa UIN Suska Riau

Orde Baru dikenal sebagai sebuah masa kelahiran dan pertumbuhan militerisme. Militerisme adalah satu paham penyelenggaraan kekuasaan yang menggunakan cara-cara militeristik di dalam upaya penggalangan, pelaksanaan dan perlindungannya. Kita berbicara tentang militerisme apabila orang menggunakan cara-cara militeristik dalam merebut, melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan. Cara-cara militeristik adalah cara-cara yang lazim dipakai di lingkungan militer, yakni mengutamakan komando dari komandan dan menuntut kepatuhan mutlak anggota demi tercapainya tujuan. Efektivitas sebuah upaya militeristik untuk mencapai tujuan menjadi sebab sempitnya ruang diskusi dan debat di dalam putusan-putusan lembaga ini. Tidak ada diskusi dan debat antara komandan dan anggota-anggotanya soal tugas dan efektivitas pencapaian tujuan tugas.

Apakah dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, militerisme sudah benar-benar hilang pada era reformasi? Secara tegas, saya menjawab belum sungguh-sungguh berhasil. Otoritarianisme Orde Baru memang berakhir, namun kultur politiknya menetap: anti-individualisme, anti-kritisisme, anti-intelektual, anti-HAM, anti-liberalisme, dan anti-komunisme. Orde Baru digantikan dengan era reformasi, tetapi karakter Orde Baru yang mengkultuskan cara berpikir, nilai, dan sistem yang membelenggu manusia di dalam cara kerja kepatuhan dan ketakutan tetap eksis pada era reformasi. ukan revolusi yang terjadi sejak 1998, melainkan reformasi. Sebagian besar kekuatan Orde Baru mengalami re-form-asi: ganti baju, ganti penampilan tetapi dengan mempertahankan kedudukan dan hak-hak istimewa warisan Orde Baru. Yang dipentingkan adalah pencapaian tujuan.

Sampai dengan saat ini, kejahatan HAM masa lalu (1965 dan 1998) yang dilakukan oleh alat-alat negara sulit dibongkar. Selain itu, penyitaan buku-buku yang berbicara tentang Partai Komunis Indonesia dilakukan oleh militer karena kehadiran PKI tidak diperbolehkan di Indonesia dan juga karena keterlibatan sejumlah militer dalam insiden tersebut. Akhir-akhir ini juga, anggota militer dan aparat kepolisian lebih sering menggunakan kekerasan fisik terhadap masyarakat sipil yang melakukan demonstrasi menuntut perwujudan hak-hak mereka. Realitas seperti inilah yang mendorong presiden Jokowi mengeluarkan instruksi presiden agar aparat keamanan menggunakan cara-cara proporsional dan profesional. Jangan sampai penyelesaian masalah malah membangun emosi dan tidak terkontrol (Kompas, Selasa, 24 September 2019).

Penyelesaian masalah dengan menggunakan cara-cara militeristik yang digunakan di kalangan warga masyarakat biasanya membidani lahirnya ketakutan semu. Di atas ketakutan tersebut diletakkan bangunan kekuasaan. Bermodalkan ketakutan yang telah dibentuk, kekuasaan digalang, dilaksanakan dan dilanggengkan. Biasanya cara-cara seperti ini menjamin tercapainya hasil dalam waktu yang singkat namun dengan risiko ketakutan semu masyarakat membuat mereka menjadi orang-orang yang munafik. Mereka taat bukan karena sadar bahwa taat itu penting tetapi semata-mata karena takut ditindas dan dihukum. Di dalam sebuah negara demokratis, idealnya militer tidak diperkenankan menjadi sebuah institusi yang memproduksi ketakutan semu, tetapi yang turut menciptakan kondisi yang memungkinkan warga masyarakat menghayati kebebasan dan kedaulatannya tanpa intimidasi dan ancaman.

Baca: Tolak Militeristis juga Tandingan Budaya Patriarki dalam Politik Emak-Emak

Dengan latar belakang seperti ini, maka militerisme mesti dibedakan dari militer, walaupun keduanya mempunyai kaitan. Menerima dan mempraktikkan militerisme berarti melebarkan ruang keberlakuan prinsip-prinsip kerja militer. Sebaliknya, menolak militerisme sebenarnya berarti menempatkan militer pada posisinya yang sebenarnya yaitu sebagai institusi yang fokus pada upaya menjaga keamanan bangsa Indonesia. Kalau demikian, menolak militerisme tidak selalu berarti menolak militer. Menolak militerisme berarti menolak pemberlakuan pendekatan-pendekatan militeristik di dalam kehidupan publik. Sebenarnya, dengan menolak militerisme orang menghendaki agar militer menjalankan perannya yang khas dan perlu secara profesional.

Fungsi militer di dalam sebuah negara demokrasi adalah mempertahankan kedaulatan wilayah sebagai satu ekspresi dari kedaulatan para warganya. Fungsi pertahanan yang dilaksanakan militer harus diletakkan dalam rangka menjamin kedaulatan rakyat dan keberlangsungannya. Pihak yang ingin menodahi kedaulatan rakyat mesti ditanggap secara serius oleh militer. Militer adalah alat negara yang mempunyai wewenang untuk menggunakan kekerasan dan senjata secara legitim. Namun, militer tidak boleh secara sewenang-wenang menggunakan hak tersebut, kecuali dalam rangka untuk melindungi hak hidup dan kebebasan warga negara. Menjadi sebuah masalah besar kalau atas nama mempertahankan kesatuan sebagai bangsa, militer menggunakan kekerasan dan senjata untuk menghancurkan kemanusiaan orang atau warga suku tertentu dari bangsa Indonesia. Berdasarkan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, kesatuan kebangsaan tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menjustifikasi penghancuran dengan cara kekerasan setiap usaha untuk membebaskan diri dari kesatuan wilayah ini. Keutuhan dan kesatuan sebagai bangsa tidak membenarkan pertumpahan darah masyarakat secara tragis, barbar, dan brutal.

Pada hakikatnya, militerisme disebut sebagai musuh demokrasi, karena semua masyakat dijadikan sebagai bawahan yang mesti tunduk pada komando sejumlah kecil pengambil keputusan. Di dalam militerisme rakyat kehilangan kedaulatannya. Rakyat menjadi pelaksana yang patuh dari apa yang dipikirkan, diputuskan serta dinilai oleh orang lain yang acapkali bertentangan dengan apa yang menjadi pikiran dan kebutuhan masyarakat luas. Militerisme menempatkan rakyat pada posisi hamba yang mesti mengabdi tuannya tanpa diskusi, debat, kritikan, dan bahkan protes. Pengabdian itu diukur berdasarkan kontribusi yang diberikan demi kelanggengan kekuasaan para tuan. Untuk dapat mengabdi secara baik, dia akan dikenyangkan dan dijamin keamanannya. Yang menjadi ketakutan fundamental militerisme adalah rakyat yang bebas, yang berani berpikir radikal, berbeda pendapat dengan sesamanya, kritis terhadap kebijakan pemimpinnya, menggugat kebijakan yang apopulis dan apolitik, dan berkonflik dengan para pemimpinnya.

Tidak dapat disangkal bahwa relasi sipil-militer di Indonesia akhir-akhir ini kurang harmonis. Harmonisasi relasi sipil-militer mulai berkurang karena ada sikap saling curiga dan saling celah di antara sipil dan militer. Masyarakat sipil berpendapat bahwa militer terlalu mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Di pihak lain, militer membentengi diri dengan menggunakan instrumen-instrumen seperti KUHP dan Undang-Undang. Ungkapan yang sering didengar dari kalangan militer adalah “kami hanya menjalankan tugas seturut perintah Undang-Undang atau pasal-pasal dalam KUHP atau menjalankan tugas seturut perintah atasan”.

Baca: Asap dan Uji Coba Kepemimpinan Syamsuar

Realitas miris relasi sipil-militer mengantar kita pada suatu kemendasakan untuk merealisasikan demokratisasi relasi sipil-militer. Demokratisasi relasi sipil-militer secara sederhana dapat dimengerti sebagai upaya-upaya atau proses-proses yang ditempuh untuk menciptakan relasi sipil-militer yang lebih demokratis. Pertanyaan kuncinya adalah apa upaya yang dilakukan oleh pihak militer dan pihak sipil untuk menciptakan hubungan yang lebih demokratis? Pertama, militer harus menyadari secara penuh bahwa ekspansi dominatif peran militer dalam kehidupan bernegara yang bisa berujung pada militerisme menjadi penghambat bagi perwujudan nilai-nilai dan prinsip-prinsip fundamental demokrasi. Usaha untuk merevitalisasi dwifungsi militer akan menciptakan kekacauan sosial. Revitalisasi dwifungsi militer juga menjauhkan ekspektasi publik dari cita-cita terwujudnya militer yang profesional. Militer profesional, menurut Huntington, sebagaimana dikutip oleh Arie Sujito, mempunyai tiga ciri menonjol (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 6, Nomor 1, Juli 2002, hlm. 125).  Pertama, ciri utamanya adalah keahlian. Artinya militer memiliki keahlian dan keterampilan secara spesifik. Keahlian yang dibutuhkan adalah keahlian untuk mengorganisir, merencanakan dan mengarahkan aktivitasnya. Kedua, adanya tanggungjawab sosial yang khusus. Ketaatan seorang militer (perwira) semata-mata bukan pada komandan, tetapi harus memiliki tanggung jawab pada negara. Dengan kata lain, hubungan kontrol dalam struktur militer profesional juga diletakkan antara perwira dan komandan secara timbal balik terutama berkaitan untuk integritas kepentingan rasional. Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan, apa yang oleh Huntington disebut dengan the military mind, yang menjadi dasar hubungan militer dan negara.

Kedua, masyarakat sipil harus mengontrol kinerja militer, melacak efek destruktif militerisme, dan berani untuk menyurakan kritikan secara terbuka. Titik fokus dalam konsep kontrol sipil adalah bagaimana meminimalkan kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok militer. Dengan adanya kekuasaan sipil yang lebih tinggi dibanding militer, maka konsep kontrol sipil ini berlaku. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan fungsi kontrol terhadap alat-alat negara dan lembaga-lembaga publik, termasuk institusi militer. Demokrasi adalah satu-satunya bentuk kekuasaan yang memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi masyarakat untuk mengontrol jalannya pemerintahan dan menyuarakan secara terbuka berbagai kekurangan yang dialami dalam kehidupan bernegara. Sekalipun dalam sebuah negara demokrasi, kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara terbatas namun selalu bersifat nyata terutama dalam hubungannya dengan unsur kedua yang khas bagi sistem demokrasi yaitu keterbukaan pengambilan keputusan. Keterbukaan itu tentu saja tidak tanpa batas. Masyarakat umum memang sering tidak dapat mengetahui secara pasti motivasi seorang pemimpin dalam menetapkan kebijakan tertentu. Keterbukaan yang dimaksudkan adalah bahwa betapapun masyarakat umum tidak dapat menyelami motivasi seorang pemimpin dalam menetapkan kebijakan tertentu, kegiatan pemimpin yang bersangkutan tetap terjadi di hadapan masyarakat. Segala kebijakan yang diambil dan program yang dilakukan oleh pemimpin dapat langsung diamati oleh masyarakat melalui media massa. Masyarakat dapat mengetahui dengan mudah berdasarkan realitas yang terjadi di lapangan bahwa seorang pemimpin menetapkan kebijakan yang pro rakyat ataukah sebaliknya menetapkan kebijakan yang pro kepentingan militer dan memberikan ruang yang luas bagi pembumian militerisme pada era reformasi.

Ketiga, militer mempunyai peran yang penting dalam kerja sama dengan semua elemen negara untuk mewujudkan masyarakat yang sungguh demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang ditandai oleh kebebasan untuk berpikir, berpendapat, berkumpul dan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan-keputusan publik melalui pemberian aspirasi-aspirasi, masukan-masukan, dan kritikan-kritikan konstruktif agar keputusan-keputusan publik yang ditetapkan sungguh-sungguh sesuai dan menjawabi kebutuhan konkret masyarakat. Pendekatan yang dipakai untuk menciptakan masyarakat demokratis bukan lagi top-down seperti dalam ideologi militerisme, melainkan pendekatan bottom-up yang sesuai dengan spirit demokrasi. Dalam demokrasi, harus ada take and give antara negara (termasuk militer sebagai alat negara) dan masyarakat dengan prinsip utama society wherever possible, state wherever necessary, semua yang bisa dikerjakan masyarakat diserahkan kepadanya, negara hanya boleh campur tangan bila diperlukan.

*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero

Editor: Hendrik Khoirul
Ilustrasi: MediaIndonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.