Tolak Militeristis juga Tandingan Budaya Patriarki dalam Politik Emak-Emak

Penulis: Jean Loustar Jewadut*

Gagasanonline.com – Beberapa waktu lalu, ruang publik kita diramaikan oleh aksi demonstrasi para mahasiswa di beberapa daerah dengan agenda utama menuntut pemenuhan kedaulatan dan hak-hak sebagai manusia dan juga sebagai warna negara. Peristiwa seperti itu bukan hal baru dalam sejarah demokrasi dan perpolitikan Indonesia. Secara historis, mahasiswa pernah tampil sebagai garda terdepan melawan kekuasaan yang otoriter, militeristik, dan korup yang berujung pada melengsernya tokoh politik tertentu dan bergantinya sistem lama ke sistem baru yang lebih menjawabi konteks kehidupan masyarakat. Secara demokratis, konflik vertikal antara warga negara dan pemimpinnya bukanlah hal tabu. Kritikan, protes, dan demonstrasi yang dilakukan oleh warga negara dari kalangan tertentu mesti diterima dan digubris secara positif oleh pemimpin. Sejauh pemimpin tetap menjadi manusia dan belum menjadi malaikat, dia tetap terbuka untuk dikritik dan diprotes agar menyadari kesalahannya dan membenah diri, juga mekanisme kepemimpinannya menuju ke arah yang lebih baik. Sampai di sini, tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa demokrasi meniscayakan peran warga negara yang kritis terhadap jalannya pemerintahan, sekaligus membutuhkan pemimpin yang tidak alergi untuk dikritik dan diprotes. Sejauh ini, apakah yang menjadi idealisme bersama kita sungguh terwujud dalam kehidupan nyata?

Diskursus seputar demonstrasi yang dilakukan mahasiswa beberapa waktu lalu masih tetap hangat. Menurut saya, salah satu fenomena miris yang mewarnai demonstrasi mahasiswa adalah penggunaan pendekatan militeristis di kalangan para aparat keamanan negara yang berujung pada tewasnya beberapa mahasiswa. Semua orang tentu tahu bahwa aparat kepolisian dan militer adalah alat negara yang mempunyai wewenang untuk menggunakan kekerasan dan senjata secara legitim. Namun, aparat kepolisian dan militer tidak boleh secara sewenang-wenang menggunakan hak tersebut, kecuali dalam rangka untuk melindungi hak hidup dan kebebasan warga negara. Menjadi sebuah masalah besar kalau atas nama mempertahankan kesatuan sebagai bangsa dan demi perwujudan keamanan publik, aparat kepolisian dan militer menggunakan kekerasan dan senjata untuk menghancurkan kemanusiaan orang atau warga suku tertentu dari bangsa Indonesia.

Baca: Kabut Asap Karena Bencana Alam atau Karena Ulah Manusia?

Penyelesaian masalah dengan menggunakan cara-cara militeristis yang digunakan di kalangan warga masyarakat biasanya membidani lahirnya ketakutan semu. Di atas ketakutan tersebut diletakkan bangunan kekuasaan. Bermodalkan ketakutan yang telah dibentuk, kekuasaan digalang, dilaksanakan dan dilanggengkan. Biasanya cara-cara seperti ini menjamin tercapainya hasil dalam waktu yang singkat, namun dengan risiko ketakutan semu masyarakat membuat mereka menjadi orang-orang yang munafik. Mereka taat bukan karena sadar bahwa taat itu penting tetapi semata-mata karena takut ditindas dan dihukum. Di dalam sebuah negara demokratis, idealnya militer dan anggota kepolisian tidak diperkenankan menjadi institusi yang memproduksi ketakutan semu, tetapi yang turut menciptakan kondisi yang memungkinkan warga masyarakat menghayati kebebasan dan kedaulatannya tanpa intimidasi dan ancaman.

Politik Emak-Emak

Aksi demonstrasi mahasiswa yang merenggut nyawa karena penggunaan pendekatan militeristis menimbulkan reaksi perlawanan dari sejumlah pihak, baik pada tataran diskursus teoritis dalam bentuk tulisan-tulisan maupun pada tataran praksis dalam bentuk solidaritas maupun demonstrasi lanjutan. Salah satu reaksi perlawanan yang baru-baru ini mencuri atensi publik adalah aksi solidaritas dan demonstrasi yang dilakukan oleh emak-emak yang peduli terhadap nasib anak bangsa pada hari Minggu, 13 Oktober 2019 di depan gedung Polda Metro Jaya. Dalam aksi tersebut, emak-emak menaburkan bunga pada sebuah seragam putih abu-abu, simbol korban tewas dalam aksi demonstrasi pada 24-30 September yang lalu.

Baca: Kampus Pinochio: Mematikan Kebebasan Akademik hingga Diskriminatif terhadap Pers Mahasiswa dan Papua

Dalam aksi tersebut, emak-emak menyuarakan lima tuntutan kepada pemerintah dan aparat keamanan (CNN Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2019). Pertama, bebaskan anak-anak (mahasiswa dan pelajar) yang masih ditahan oleh pihak kepolisian. Kedua, menuntut Polda Metro Jaya untuk membuka akses secara terbuka dan transparan data-data tentang mahasiswa dan pelajar yang masih ditahan. Berikan kemudahan akses bagi para orang tua dan keluarga untuk mengetahui keberadaan dan keadaan anak-anak mereka, dan berikan jaminan bagi mahasiswa dan pelajar untuk mendapatkan pendampingan hukum. Ketiga, hentikan segala bentuk kekerasan terhadap aksi mahasiswa, pelajar, dan seluruh rakyat yang menyuarakan hak-hak demokratisnya. Keempat, menuntut agar Mendiknas, Menristekdikti, KPAI, dan Dinas Pendidikan untuk menghentikan segala pelarangan mahasiswa atau pelajar untuk menyuarakan pendapatnya dan pengancaman drop out. Kelima, hentikan kriminalisasi terhadap pejuang demokrasi, usir polisi dan tentara dari jabatan sipil.

Politik emak-emak yang hadir secara nyata dalam aksi solidaritas dan demonstrasi dengan substansi tuntutan yang jelas yaitu menuntut pemenuhan hak-hak para anak bangsa sebenarnya ingin mengganggu pihak-pihak tertentu yang sudah merasa nyaman dengan kekuasaan yang notabene sangat anti kemanusiaan. Demi alasan penegakkan keamanan dan perlindungan kekuasaan, kemanusiaan ditindas dan bahkan rela dikorbankan. Orang begitu mudah melakukan kesalahan tanpa pernah merasa bersalah, menyampaikan permohonan maaf secara publik, dan kemudian ditindak menurut ketentuan hukum yang berlaku. Yang terjadi adalah beraneka kesalahan dan pelanggaran masa lalu kemudian disembunyikan secara apik agar kebenaran tidak mendapat tempat dalam kehidupan bersama. Sejarah ditulis dari perspektif penguasa dengan ulasan-ulasan kebenaran versi penguasa, yang tentunya hanya menguntungkan penguasa dan para kroninya.

Apa yang Bisa Dipelajari dari Politik Emak-Emak?

Politik emak-emak bukanlah sebuah realitas yang terjadi secara kebetulan dan sekadar memiliki tujuan pragmatis, yaitu agar mendapat pengakuan publik. Gerakan perlawanan emak-emak berangkat dari sebuah kegelisahan fundamental tentang kegagalan negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak sipil-politik warganya, dan juga tentunya keabsenan negara untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih humanis yang menjamin kemanusiaan seseorang sebagai respon terhadap aksi-aski protes, kritik, dan demonstrasi dengan tuntutan-tuntutan yang jelas demi terwujudnya kebaikan publik. Politik emak-emak yang hadir dengan tuntutan-tuntutan yang jelas kepada kekuasaan mesti sedini mungkin direspon oleh kekuasaan, agar kredibilitas kekuasaan pemerintah bisa dipulihkan di hadapan publik pada satu pihak dan agar kedaulatan semua warga negara terjamin pada pihak lain.

Baca: Razia Buku ‘Kiri’, Potret Alergi Peradaban

Kehadiran emak-emak dalam urusan perpolitikan bangsa ini sekurang-kurangnya memberikan beberapa pelajaran berharga bagi masyarakat luas. Pertama, aksi demonstrasi dan solidaritas yang dilakukan oleh emak-emak dapat dibaca sebagai sebuah kritik terhadap pihak-pihak tertentu yang memenjarakan politik pada urusan perebutan dan pertahanan kekuasaan demi profit politis-ekonomis. Setelah memperoleh kekuasaan, mereka menggiring kekuasaan ke arena yang hanya diisi oleh segelintir orang, dengan sejumlah agenda pribadi dan melupakan nasib rakyat banyak yang memberikan suara pada saat pemilu. Politik bagi mereka hanya soal penampilan publik yang elegan, keluar masuk kantor, dan bahkan tidur di kantor yang dibangun menggunakan uang rakyat dan digunakan untuk membicarakan nasib rakyat seperti yang marak diberitakan beberapa hari belakangan ini. Belajar dari emak-emak, politik itu jauh lebih luas daripada sekadar urusan perebutan dan pertahanan kekuasaan. Kekuasaan tidak boleh dipandang sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi semata-mata harus dipandang sebagai sarana untuk melayani demi terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, politik emak-emak, dalam perspektif budaya, dapat dilihat sebagai sebuah tandingan terhadap budaya politik patriarki yang dibangun atas konsep dasar yaitu tentang superioritas kapabilitas laki-laki dalam mengurus kehidupan publik. Dalam tatanan budaya politik patriarki yang paling ekstrim, keberadaan perempuan hanya terbatas pada ruang privat untuk mengurus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan privat rumah tangga. Pada masa sekarang di mana kesadaran berpolitik tidak hanya dimiliki oleh laki-laki tetapi juga dimiliki oleh perempuan, begitu banyak perempuan yang terjun ke dalam urusan politik. Baik pada tataran teoritis, seperti menjadi akademisi atau peneliti sosial-politik, maupun pada tataran praktis yaitu terjun langsung menjadi orang-orang penting baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Perempuan (emak-emak) zaman sekarang, hemat saya, sudah menghidupi pesan penting Kartini beberapa tahun silam: “Dengarlah lonceng telah berbunyi. Bangkitlah dari tidurmu yang nyenyak untuk membela hak-hakmu. Hakmu untuk bersaing dengan atasan-atasanmu dalam kebudayaan dan pengembangan pengetahuan. Berlomba-lombalah dengan keuletan. Demikianlah kalian akan berguna bagi negerimu. Lepaskanlah dirimu dari belenggu-belenggu yang masih mengikat kalian. Majulah bebas menurut bakat kalian masing-masing dan kembangkanlah keagungan pribadi kalian masing-masing. Berusahalah terus-menerus untuk mencapai cita-cita kalian, yaitu kemajuan.” (Solichin Salam, 1983:33).

Baca: JPO Juga Perlu Perhatian

Ketiga, politik emak-emak beberapa waktu lalu yang di dalamnya termuat tindakan menaburkan bunga pada sebuah seragam putih abu-abu, simbol korban tewas dalam aksi demonstrasi pada 24-30 September yang lalu, menjadi peringatan bagi negara untuk tidak pernah boleh melupakan kejahatan Hak Asasi Manusia masa lalu, yang mengorbankan banyak nyawa anak bangsa yang tidak bersalah namun dicap bersalah demi keamanan status quo.

Beberapa tahun silam, ketika masih berpredikat sebagai calon presiden (periode pertama), Jokowi dalam visi dan misi sudah menyertakan secara serius masalah penanganan kasus HAM masa lalu. Jokowi dan Jusuf Kalla menyatakan komitmen dan keseriusan untuk menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, kasus Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa periode 1997-1998, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan tragedi 1965.

Pada akhir-akhir masa jabatan sebagai presiden pada periode pertama dan menjelang pelantikannya sebagai presiden pada periode kedua, Jokowi lagi-lagi diperhadapkan dengan masalah pelanggaran HAM yang melibatkan masyarakat Papua sebagai korban. Dan baru-baru ini masalah pelanggaran HAM yang dialami oleh sejumlah mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi. Tentu sebuah pukulan yang berat bagi pemerintah. Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur yang berhasil dikerjakan, rezim yang berkuasa sekarang tidak boleh menutup mata terhadap kasus pelanggaran HAM baru-baru ini dan juga kasus pelanggaran HAM masa lalu. Penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM, menurut saya, tidak terlalu membutuhkan nasihat moral seperti “memaafkan lebih baik atau bersabar itu penting”. Masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM tentu membutuhkan penyelesaian secara hukum agar korban tidak mengalami penderitaan ganda: menderita karena HAM mereka dilanggar, ditambah lagi menderita karena diskriminasi dan ketidaktegasan hukum.

*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere. 

Editor: Bagus Pribadi
Foto: Suara.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.