Korupsi dan Cerminan Terhadap Iman

Penulis: Jefri Setiawan*

Gagasanonline.com – Persoalan mendasar dalam pemahaman agama adalah masyarakat tidak menyadari bahwa mengkonsumsi makanan yang didapat dari mencuri milik orang lain sama haramnya dengan daging babi atau daging anjing. Tapi masyarakat umumnya lebih takut mengkonsumsi makanan-makanan yang terkontaminasi sesuatu yang berasal dari babi, daripada mengkonsumsi makanan yang seluruhnya berasal dari uang korupsi.

Bangsa Indonesia tengah menghadapi berbagai permasalahan yang pelik seputar krisis multidimensional serta problem lain yang menyangkut tatanan nilai yang menuntut adanya upaya pemecahaan yang mendesak. Problematika yang menyangkut struktur nilai dalam masyarakat salah satunya adalah korupsi. Semakin akutnya permasalahan tersebut, sebagian orang menganggap bahaya korupsi di Indonesia telah membudaya dari tahun ke tahun.

BacaTolak Militeristis juga Tandingan Budaya Patriarki dalam Politik Emak-Emak

Akibat dari mengakarnya korupsi selanjutnya dapat dilihat dengan semakin meluasnya kemiskinan, korupsi bermetamorfosa menjadi cara berpikir dan cara hidup masyarakat untuk memperoleh kekayaan dan menjadi jalan  pintas untuk memperkaya diri atau golongan secara cepat. Korupsi memang merupakan problematika yang meresahkan warga negara Indonesia. Dalam hal ini, korupsi yang tidak bisa ditindak dan tak bisa diselesaikan oleh pihak manapun malah hanya menjadi problematika yang terus menerus. Kejujuran merupakan karakteristik yang melekat pada diri muslim, buah dari keyakinannya akan pengawasan Allah SWT . 

Pribadi yang bertanggung jawab adalah buah dari keimanannya. Nilai nilai kejujuran, tanggung jawab dan kesederhanaan sebagai bagian dari nilai-nilai anti korupsi telah dibahas di dalam al-Quran dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan anti korupsi yang telah ditetapkan departemen pendidikan dan kebudayaan ajaran Islam. Selain itu, bobroknya akhlak manusia dengan tindakan korupsi yang terus membudaya, bahkan ada ketakutan bahwa budaya ini meregenerasi dan menyerang anak anak dan remaja. Esensi korupsi ini dalam bentuk penyalahgunaan jabatan atau wewenang dengan tujuan menguntungkan dan memperkaya diri dan tidak mau bersyukur terhadap apa yang telah Allah kasih kepada mereka.

Harus diakui bahwa perilaku moralitas yang tidak berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam, salah satunya adalah dengan melakukan tindakan korupsi yang notabene sebuah sikap yang tidak adil, tidak bertanggung jawab dan merugikan orang banyak. Agama kita mengajarkan malu adalah sebagian dari iman. Namun apa yang terjadi? Masyarakat kita, terlebih lagi para elit pejabat justru sering melakukan hal memalukan dan tidak amanah. Agama kita juga mengajarkan amanah namun pada praktiknya para pemuka, petinggi dan elit pejabat sering ingkar janji.

Baca: Kabut Asap Karena Bencana Alam atau Karena Ulah Manusia?

Dengan penjelasan tersebut makan dapat disimpulkan bahwa agama kita diajari putuskanlah hukum dengan adil. Namun apa yang terjadi dengan sistem hukum kita? Masyarakat sudah lama menunggu keadilan yang tak kunjung datang, hukum di Indonesia bertambah tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Para pemimpin kita seharusnya memikirkan kesejahteraan rakyatnya, bukan sibuk untuk meningkatkan pendapatan mereka, popularitas mereka di mata siapa pun.

Hukuman korupsi? Kita lihat di negara belahan dunia. Di Jepang, bukan hukuman secara langsung yang diterima pelaku korupsi, tetapi tekanan sosial, dijauhkan dan dicela. Lalu di negara Tiongkok pelaku korupsi dijatuhkan hukuman mati dan hukuman itu juga berlaku di Korea Utara. Untuk Indonesia? Hanya hukuman penjara. Jika hanya hukuman penjara yang diberikan kepada koruptor, sama sekali tidak akan menimbulkan efek jera bagi koruptor. Dan hal itu sudah terbukti, dengan bebasnya mereka dari penjara, maka masih ada kemungkinan mereka untuk melakukan korupsi kembali. Hukum adalah hukum. Harusnya hukum tak bisa dipermainkan dengan uang. Hukum harus sesuai dengan undang-undang, tidak melihat siapa pelakunya, dan tidak melihat jabatan dari pelaku.

Kesenjangan antara norma atau ajaran agama dengan perilaku keseharian seperti di atas adalah tanda krisis multideminsional yang sifatnya berkelanjutan dan selalu berkaitan sampai batas dan ujung pangkalnya yang tidak bisa diputus. Semua krisis itu merupakan cerminan dari para elit pejabat kita yang dimulai dari krisis hukum, krisis politik, krisis moneter hingga krisis kepercayaan rakyat kepada para petinggi, maka wajarlah Allah sedang memberi peringatan atau mungkin sudah mendatangkan azabnya kepada bangsa kita saat ini.

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ekonomi dan Sosial UIN Suska Riau

Editor: Hendrik Khoirul Muhid
Foto: Liputan6

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.