Kampus Pinochio: Mematikan Kebebasan Akademik hingga Diskriminatif terhadap Pers Mahasiswa dan Papua

Penulis: Jean Loustar Jewadut*

Gagasanonline.com – Prinsip-prinsip fundamental demokrasi seperti perwujudan kedaulatan, kesetaraan, dan kebebasan yang mesti bermuara pada pencapaian kebaikan bersama tidak hanya menjadi wacana sekaligus praksis yang dimonopoli oleh sebuah institusi besar bernama negara. Kampus sebagai sebuah institusi otonom yang berada di bawah perlindungan negara, juga mempunyai cita-cita luhur untuk mewujudkan prinsip-prinsip fundamental demokrasi bagi segenap civitas akademikanya. Kehadiran kampus mesti menjadi semacam aeropagus masa kini, yang di dalamnya ditemukan pertemuan semua pihak yang berada dalam posisi setara dalam perspektif hak asasi manusia, bebas menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan, dan berhak menyuarakan pendapat tanpa harus mendapat tekanan, intimidasi, dan ancaman dari pihak lain atas nama otoritas tertentu. Pertanyaan fundamental bernada provokatif kemudian muncul: apakah kampus sudah hadir sebagai institusi demokratis ataukah malah sebaliknya hadir sebagai institusi otoritatif yang mengebiri kultur dan kebebasan akademik mahasiswa?

Nasib malang menimpa para mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Mereka tidak mendapat kebebasan akademik dalam bentuk penyelenggaraan diskusi publik yang berjudul “Framing Media dan Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus Utama”. Diskusi publik yang sudah mereka jadwalkan untuk dilaksanakan pada 9 Oktober 2019 diintimidasi oleh aparat kepolisian Sukolilo, yang kemudian disusul dengan pemberangusan organisasi mereka secara lisan oleh rektorat kampus dengan beberapa alasan yang diberikan oleh rektorat. Diskusi publik mereka diintimidasi oleh aparat kepolisian karena aparat kepolisian bertanggung jawab terhadap keamanan Sukolilo. Dan diskusi publik adalah salah satu acara yang mesti diamankan oleh aparat kepolisian. Bentuk pengamanannya adalah dengan mengamati dari jarak jauh dan memastikan substansi dan kesimpulan diskusi (tirto.id, 11 Oktober 2019). Dari fenomena miris yang dialami oleh teman mahasiswa di Surabaya, ada beberapa pertanyaan yang terbersit dalam benak saya dan menarik untuk dianalisis: Mengapa diskusi tentang Papua harus dibubarkan di tengah kemelut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami oleh masyarakat Papua? Mengapa polisi harus campur tangan dengan urusan kebebasan akademik mahasiswa dengan alasan penjagaan keamanan? Mengapa kampus mengambil keputusan sepihak untuk membubarkan organisasi mahasiswanya sendiri? Apakah ada kepentingan di balik tindakan kampus yang anti demokratis tersebut?

Pers Mahasiswa sebagai Oposisi Media para Oligarki

Hannah Arendt, seorang filsuf politik perempuan keturunan Yahudi, pernah mengemukakan paham tentang pembagian kekuasaan, yaitu suatu konsep yang mengacu pada pluralitas. Paham ini dapat dimaknai dalam dua arah yakni pertama, pembagian mengacu pada upaya peningkatan kemungkinan partisipasi yang lebih luas. Kedua, pembagian merujuk pada pengurangan kekuasaan, yaitu kesediaan agar perwujudan kepentingan diri sendiri dikontrol oleh pihak lain dan dibatasi demi terciptanya kebaikan umum. Terkait paham pembagian kekuasaan ala Arendt, peran media menjadi sebuah keniscayaan. Media menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengambil partisipasi secara lebih luas tanpa ada intimidasi dari pihak-pihak lain. Sungguhkah media tampil secara otonom sehingga mampu menyuarakan kebenaran dan menentang kejahatan?

Persoalan dalam hubungannya dengan kinerja media-media di Indonesia adalah realitas yang mengungkapkan bahwa media-media di Indonesia lebih banyak dikuasi oleh para oligarki atau berada di bawah bayang-bayang para oligarki. Di satu pihak, media membutuhkan biaya yang besar untuk membiayai kegiatan operasional. Namun, di pihak lain yang justru berbahaya, sumbangan yang diperoleh dari para oligarki dapat mengganggu independensi kerja media dalam memperjuangkan nasib rakyat. Banyaknya aliran dana yang berasal dari para oligarki membuat media membeo dan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada mereka sehingga dikhawatirkan media lebih mengutamakan kepentingan parsial para oligarki. Bukan hal yang baru kalau pada masa reformasi yang menjadi pemilik media-media mainstream di Indonesia adalah politisi. Ross Tapsell dalam risetnya, mengemukakan sejumlah media di Indonesia yang dimiliki oleh politisi yang sekaligus oligarki. Sejumlah media tersebut adalah TransCorp (dimiliki oleh Chairul Tanjung), Visi Media Asia (dimiliki oleh Aburizal Bakrie), Media Indonesia Group (dimiliki oleh Surya Paloh), MNC Group (dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo), Jawa Pos Group (dimiliki oleh Dahlan Iskan), dan SCTV dan Indosiar (dimiliki oleh Eddy Kusnadi Sariaatmadja). Media-media tersebut menjadi alat politik di tangan para pemiliknya untuk keberhasilan akses jabatan politik tertentu atau dalam rangka menggolkan kandidat tertentu yang satu koalisi dengan para pemiliknya.

Baca: Razia Buku ‘Kiri’, Potret Alergi Peradaban

Di tengah fenomena media yang dikuasai dan dikontrol secara oligarki dan hanya dijadikan sebagai alat politik untuk memperoleh jabatan atau keuntungan politis tertentu, pers mahasiswa sebagai sebuah lembaga demokratis bentukan mahasiswa mampu tampil sebagai oposisi terhadap media yang dijalankan secara oligarki. Pers mahasiswa mesti tampil sebagai ujung tombak yang mempelajari dan menganalisis setiap berita yang dimuat oleh media-media mainstream yang kebanyakan dimiliki oleh para politisi berwajah oligarki. Pemberitaan yang hanya menjawab kepentingan segelintir orang mesti dilawan oleh pers mahasiswa dengan menurunkan pemberitaan tandingan yang mampu mengayomi kepentingan semua orang. Itulah sebabnya, pada hakikatnya, pers mahasiswa tidak hanya dibentuk untuk kepentingan internal kampus saja, tetapi juga untuk kepentingan eksternal yaitu perwujudan pengabdian untuk masyarakat luas sebagaimana ditegaskan dalam salah satu poin tridarma perguruan tinggi.

Mahasiswa yang tergabung dalam pers mahasiswa sebagai subjek-subjek politis yang berada di luar kekuasaan, hemat saya, lebih kredibel, otonom, dan bebas mengontrol jalannya kekuasaan ketimbang media boneka karena dikontrol secara oligarki. Pers mahasiswa lebih dipercaya untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan yang ditujukan kepada tiga hal penting yaitu subjek yang diberi kekuasaan, keterarahan kepada tujuan yang telah ditetapkan dan cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Subjek yang diberi kekuasaan harus dikontrol agar tidak terjadi penyerahan atau pengambilalihan kekuasaan tanpa dikehendaki oleh rakyat. Kontrol terhadap subjek yang berkuasa menjadi penting dan urgen agar tidak tercipta hubungan pragmatis antara subjek yang berkuasa dengan pihak-pihak tertentu dalam rangka pencapaian keuntungan pribadi, dengannya menelantarkan rakyat secara umum. Singkatnya, subjek yang berkuasa harus terus dikontrol secara intensif agar dia tetap setia berkiprah demi pencapaian tujuan (goal) yang telah ditetapkan dengan menempuh cara-cara (means) positif-halal yang juga telah disepakati secara bersama. Atas dasar inilah, tindakan rektorat kampus yang membubarkan pers mahasiswa atau mengintervensi terlalu jauh kegiatan-kegiatan pers mahasiswa sejatinya melawan prinsip demokrasi dan mesti ditentang.

Membungkam Suara tentang Papua: Gunakan Pendekatan Militeristik

Masalah Papua adalah masalah pelanggaran HAM masyarakat Papua. Teristimewa yang berstatus sebagai masyarakat pendatang di beberapa wilayah di luar Papua sangat sering menjadi korban pelanggaran HAM. Akhir-akhir ini, masyarakat Papua bangun dari apa yang dikatakan Marx sebagai kesadaran palsu, setelah lama dininabobokan oleh pemerintah melalui pelaksanaan program pembangunan infrastruktur dari pinggir menuju pusat. Namun, nyatanya pembangunan infrastruktur yang memadai di Papua lebih dominan digunakan oleh kaum kapitalis untuk mengakses secara lebih mudah sumber daya alam masyarakat Papua yang berada di daerah-daerah pedalaman. Intensi tersembunyi pemerintah di balik pembangunan infrastruktur di Papua berhasil dibaca oleh masyarakat Papua. Itulah sebabnya, akhir-akhir ini pemerintah Indonesia pusing tujuh keliling menghadapi gerakan perlawanan masyarakat Papua yang menuntut pemenuhan hak-hak mereka. Apa cara yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk membendung gerakan perlawanan masyarakat Papua?

Baca: Belenggu Kebebasan Pers Mahasiswa

Pemerintah Indonesia dengan menggunakan aparat keamanan berusaha untuk membungkam semua suara yang hendak berbicara tentang Papua, dan mengalihkan diskursus publik ke tema-tema yang berhubungan dengan hal-hal privat, seperti yang termuat dalam beberapa dalam RKUHP. Diskusi tentang Papua dibubarkan. Tulisan kritis tentang Papua dilawan dengan nasihat bijak dari pemerintah: marah itu boleh, namun memaafkan itu lebih mulia. Semua forum dan buku yang berusaha mengangkat sejarah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dibubarkan dan disita oleh aparat keamanan dengan argumentasi demi penjagaan keamanan. Ada pendekatan militeristik yang semakin masif dalam membungkam suara-suara tentang Papua.

Penyelesaian masalah dengan menggunakan cara-cara militeristik yang digunakan di kalangan warga masyarakat biasanya membidani lahirnya ketakutan semu. Di atas ketakutan tersebut diletakkan bangunan kekuasaan. Bermodalkan ketakutan yang telah dibentuk, kekuasaan digalang, dilaksanakan dan dilanggengkan. Biasanya cara-cara seperti ini menjamin tercapainya hasil dalam waktu yang singkat namun dengan risiko ketakutan semu masyarakat membuat mereka menjadi orang-orang yang munafik. Mereka taat bukan karena sadar bahwa taat itu penting tetapi semata-mata karena takut ditindas dan dihukum. Di dalam sebuah negara demokratis, idealnya militer tidak diperkenankan menjadi sebuah institusi yang memproduksi ketakutan semu, tetapi yang turut menciptakan kondisi yang memungkinkan warga masyarakat menghayati kebebasan dan kedaulatannya tanpa intimidasi dan ancaman.

Baca: Kesewenang-wenangan Birokrat UIN Suska

Aparat keamanan, seperti polisi dan militer adalah alat negara yang mempunyai wewenang untuk menggunakan kekerasan dan senjata secara legitim. Namun, mereka tidak boleh secara sewenang-wenang menggunakan hak tersebut, kecuali dalam rangka untuk melindungi hak hidup dan kebebasan warga negara. Menjadi sebuah masalah besar kalau atas nama mempertahankan kesatuan sebagai bangsa, mereka menggunakan kekerasan dan senjata untuk menghancurkan kemanusiaan orang atau warga suku tertentu dari bangsa Indonesia. Berdasarkan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, kesatuan kebangsaan tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menjustifikasi penghancuran dengan cara kekerasan setiap usaha untuk membebaskan diri dari kesatuan wilayah ini. Keutuhan dan kesatuan sebagai bangsa tidak membenarkan pertumpahan darah masyarakat secara tragis, barbar, dan brutal.

Menjelma Menjadi Kampus Pinochio

Patut disayangkan bahwa kampus yang semestinya tampil menjadi institusi yang mengayomi dan menjamin kebebasan akademik segenap penghuninya gagal menjalankan tugas tersebut dan mengambil langkah sepihak membubarkan pers mahasiswa. Ada apa dengan kampus-kampus sekarang?

Belakangan ini, beberapa kampus mendapat catatan buruk karena menjadi tempat bertumbuh suburnya paham radikalisme. Selain itu, kasus pembubaran pers mahasiswa di Surabaya ingin memperlihatkan kepada kita sebuah realitas miris, bahwa kampus yang katanya mesti otonom malah berbalik menjadi benalu yang sangat bergantung pada kehendak pemerintah, tepatnya negara. Ketika pemerintah melalui aparat keamanan mematikan kebebasan akademik, kampus justru mendukung tindakan tersebut. Rupanya ada relasi yang tidak wajar antara kampus dan pemerintah, di mana institusi yang lebih tinggi mengkooptasi institusi yang berada di bawah perlindungannya. Akibatnya, kampus menjadi pinochio di bawah kendali pemerintah.

Kampus pinochio menjadi sarana di tangan pemerintah untuk menggolkan semua kebijakan, sekalipun ada kebijakan-kebijakan tertentu yang hanya menjawabi kebutuhan dan menguntungkan segelintir pihak tertentu saja. Di tangan pemerintah, kampus pinochio menjadi semacam benteng pertahanan yang melindungi pemerintah dari berbagai kritik publik dengan cara membentuk opini tandingan.

Apa yang Mesti Dibuat?

Serangan terhadap mahasiswa dan seluruh kegiatan akademiknya mesti dihadapi dengan merancang gerakan perlawanan tandingan. Secara historis, di dalam diri mahasiswa selalu berkobar api keberanian. Keberanian menjadi modal penting untuk melakukan gerakan perlawanan. Mahasiswa mesti berani menyerukan berbagai praktik ketidakadilan yang menodai keluhuran martabat manusia, memosisikan mereka yang dipinggirkan ke pusat perhatian publik, memberikan konsientisasi bagi masyarakat yang kurang sadar bahwa mereka sedang dijajah oleh pemimpin dan regulasi yang tidak pro rakyat, mengikuti dan mengevaluasi kinerja pemimpin yang berkuasa, mengkritisi berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin, mengontrol jalannya sebuah pemerintahan, mengkritisi kebijakan kampus, dan mengawasi relasi bipolar antara kampus dan pemerintah.

Baca: Dehumanisasi di Ruang Belajar Formal

Penting bagi mahasiswa untuk membangun kerja sama lintas kampus, lintas organisasi, dan lintas agama yang mempunyai satu tujuan yang sama yaitu melawan semua pihak yang ingin mematikan kebebasan akademik mahasiswa. Tentunya agenda seperti ini tidak cukup hanya mengandalkan militansi atau spiritualitas, tetapi juga harus dilengkapi oleh modal pengetahuan dan kekritisan. Untuk itulah, mahasiswa tidak boleh berbangga hanya karena alasan intelektualisme, tetapi harus bergerak lebih jauh menuju pengolahan rasionalitas. Intelektualisme yaitu keadaan di mana seseorang mempunyai pengetahuan yang luas tentang topik-topik tertentu. Sementara itu, rasionalitas berkaitan dengan kemampuan setiap orang untuk bertanya dan mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi. Mahasiswa tentu saja memiliki banyak perbendaharaan infomasi dan pengetahuan di otak, namun rasionalitas perlu terus-menerus dikembangkan, dengan mengolah secara kritis segenap kenyataan dan informasi yang berhubungan dengan nasib publik.

Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi dan masyarakat yang hidup di dalamnya adalah masyarakat demokratis, maka perdebatan dan pergolakan politis selalu ada. Gejolak politis merupakan bagian dari sebuah proses demokratisasi dan akan senantiasa mewarnai sepak terjang kehidupan masyarakat demokratis. Prinsip yang berlaku antara masyarakat dan negara adalah “society wherever possible, state wherever necessary”, semua yang bisa dikerjakan oleh masyarakat diserahkan kepadanya. Negara hanya campur tangan bila diperlukan. Masyarakat demokratis perlu dilatih untuk menghadapi dan menyelesaikan gejolak-gejolak dan masalah-masalah publik dengan menempuh cara-cara yang aman dan damai melalui dialog, diskusi, dan debat yang menjunjung tinggi kultur akademik. Sudah saatnya, bukan otot dan kepalan tangan yang diandalkan dalam kehidupan masa kini, melainkan otak, suara, dan gerakan pena masyarakat. Sanggupkah kita mewujudkan cita-cita mulia ini?

*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere. 

Editor: Bagus Pribadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.