Hari Santri dan Peranan Pesantren Memperjuangkan Kemerdekaan RI

Penulis: Hendrik Khoirul Muhid

Gagasanonline.com- Dalam statuta Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo 2015 silam, maka setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Mengutip dari Jogloabang.com, isi hukum Kepres Hari Santri Pasal 4 ayat (1) UUD RI 1945 sebagai berikut:

  1. Ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan;
  2. untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa, perlu menetapkan Hari Santri pada 22 Oktober;
  3. bahwa tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah;
  4. Berdasarkan pertimbangan di atas maka Presiden menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri dengan Keputusan Presiden. 

Kepres tentang Hari Santri berisi diktum-diktum sebagaimana berikut:

  1. Pertama: Menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri,
  2. Kedua: Hari Santri bukan merupakan hari libur,
  3. Ketiga: Keputusan Presiden mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Peran kaum ulama dan santri pada awal perjuangan merebut kemerdekaan memberikan keyakinan untuk melawan penjajahan serta rasisme  Kolonial Barat yang beranggapan  bahwa ras kulit putih yang unggul dan rakyat Indonesia disebut inlander atau bangsa rendahan. Tak sampai di situ gerakan perlawanan bersenjata hingga jalur diplomasi dilakukan untuk merebut kemerdekaan.

Baca Juga: HMJ Bicara Soal Pemilihan Ketua Secara Ad Hoc

Dalam studinya Bizawe mengungkapkan, pada periode kolonial, para ulama dan santri adalah pihak yang konsisten anti kolonial karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam. perlawanan Ulama dan santri tidak pernah padam terhadap kolonial hingga meledaknya  perang bersejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. dalam perang ini pasukan Pangeran Diponegoro tergabung  berbagai kalangan dari penjuru Jawa.

Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 Kyai, 31 Haji 15 Syekh, 12 Penghulu Yogyakarta dan 4 Kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, mereka menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan dengan mendirikan masjid-masjid dan pesantren-pesantren jauh dari pusat-pusat tangsi Belanda. Beberapa  pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur yang menyimpan kronik-kronik sejarah ini.

Setelah perang Diponegoro, masih ada sekitar 130 pertempuran yang melibatkan kalangan pesantren demi bangsa Indonesia. Kemerdekaan merupakan hasil  karya seluruh bangsa Indonesia, dan ulama-santri juga ikut andil. Hal ini menunjukkan  pesantren memiliki andil dan kontribusi yang sangat besar bagi kemerdekaan  Republik Indonesia. Bagi pesantren, Indonesia adalah martabat dan harga  diri, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia adalah merebut harga diri,  memperjuangkan cita-cita Proklamasi adalah memperjuangkan kemanusiaan. Bagi  umat Islam khususnya para santri, Kemerdekaan RI adalah rahmat Allah seperti yang  tertulis dalam preambul UUD’45, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan  didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat  Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.  kemerdekaan yang sudah kita reguk selama 74 tahun ini, adalah tidak lepas dari peran para santri.

Di saat Perang Dunia II meletus dan Jepang menguasai Hindia Belanda, para ulama juga terus berijtihad agar kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaatkan kelemahan Jepang yang terjepit oleh sekutu meski penindasan Jepang begitu kejam terhadap rakyat, para ulama mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan. Jepang memahami, kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang berupaya merangkul Islam, khususnya Islam-tradisional. Dalam konteks inilah laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan mempertahankannya.

Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Surabaya. Fauzi dalam studinya mengungkapkan, 22 Oktober 1945 ditetapkan seruan Resolusi Jihad yang dihasilkan santri-ulama pondok pesantren dari berbagai provinsi Indonesia yang berkumpul di Surabaya. Resolusi Jihad ini jawaban para tokoh ulama pesantren yang didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.

Baca Juga: Tempat Bermain di Mal dan Nasib Pasar Malam

Pada tahun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar Hisbullah dan Sabilillah. Laskar Hizbullah dan sabilillah didirikan menjelang akhir pemerintahan jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di desa Cibarusah, kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando KH. Hasyim Asy ’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin, adapun laskar sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Dengan berbekal fatwa jihad yang diteguhkan dalam Resolusi Jihad tersebut, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial, namun Resolusi jihad tersebut tidak semata-mata dimaksudkan perjuangan membela agama Islam saja, tetapi juga kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Douwes Dakker mengatakan “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa  Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejarahnya sehingga mencapai  kemerdekaan.” Pondok pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pertahanan fisik  terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pondok pesantren juga menjadi kubu  pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang  berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan budaya Belanda tidak mencapai  keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu didominasi pengaruh  pondok pesantren. Hal ini karena tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi  dengan budaya Barat. kiprah pesantren dan umat Islam cukup  besar karena para tokoh pergerakan nasional tidak dapat dilepaskan dari  dunia pesantren  dan spirit Islam.

Editor: Tika Ayu
Foto: Tirto.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.