Razia Buku ‘Kiri’, Potret Alergi Peradaban

Penulis: Bagus Pribadi

Gagasanonline.com-Beberapa hari yang lalu sebagian dari kita dibuat geleng-geleng kepala karena razia buku yang dianggap kiri, kembali terjadi di Indonesia. Di Probolinggo pada Sabtu (27/7/2019) lalu, polisi menyita empat buku yang terdapat di lapak baca gratis Komunitas Vespa Literasi. Tak hanya itu, dua mahasiswa yang membuka lapak baca gratis turut ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.

Kejadian ini mengingatkan saya kepada seorang teman yang mengomentari cerita status di akun Instagram saya. Kala itu saya menuliskan “A.C.A.B” singkatan dari All Cops Are Bastard, setelah melihat video perayaan Go Skateboarding Day di Kolombia. Di video tersebut orang-orang yang sedang bermain skateboard di jalanan ditabrak secara membabi-buta oleh beberapa polisi menggunakan sepeda motor. 

Teman saya ini sedang mendaftarkan diri menjadi polisi. Ia mengatakan nantinya jikalau diterima menjadi polisi tak akan mengikuti doktrin kepolisian, termasuk doktrin benci terhadap komunisme, dan saya hanya mengaminkan perkataannya. Karena katanya, ia selama ini membaca buku-buku kiri dan juga membuka lapak baca gratis. Harapan saya jika nanti ia menjadi polisi, ia bisa menyebarkan semangat literasi di kepolisian. Akan tetapi, saya lebih berharap jika ia gagal menjadi polisi. 

Berkegiatan secara sukarela seperti membuka lapak baca gratis, dengan konsisten tentu saja hal yang berat. Saya dan teman-teman di kampus juga membuka lapak baca gratis seminggu sekali. Kami mencuri-curi waktu, di sela-sela jam kuliah untuk bergantian menjaga lapak baca gratis tersebut. Buku-buku yang ada di lapak baca gratis juga hasil kolektif perorangan. Kami yang hanya mahasiswa ini tentu tak punya banyak uang, namun dengan sukarela meletakkan buku-buku ke lapak baca gratis yang dibeli dengan uang bulanan. Maksud saya di sini, dua mahasiswa yang ditangkap di Probolinggo itu tidak jauh-jauh keadaannya dengan kami, karena mereka juga mahasiswa. 

Lalu mengapa polisi dengan gampang mengacaukan kegiatan sukarela yang dilakukan oleh mahasiswa. Polisi yang kita tahu, yang digambarkan dengan kehidupan mapan, meski gaji dari uang rakyat. Perlakuan seperti ini mencerminkan buruknya literasi di kepolisian. Karena orang yang hidup dengan literatur-literatur pasti wawasannya menjadi luas sehingga tak hanya memandang segala hal dari satu sudut pandang, apalagi sudut pandang kepolisian terhadap komunisme. Tidak langsung menyita buku dan menangkap mahasiswa secara sepihak dengan menggunakan kekuatan status sosial sebagai polisi. 

Kemudian di Makassar pada Sabtu (3/8/2019) lalu, juga terjadi penyitaan buku yang dianggap berhaluan kiri di salah satu toko buku terbesar di Indonesia. Kelompok yang menamai dirinya Brigade Muslim Indonesia ini menyita buku-buku yang dianggap berpaham marxisme dan leninisme. Mungkin mereka juga ingin dianggap perkasa laiknya polisi yang menyita buku di Probolinggo tersebut, sehingga mereka juga membuat tandingan gagah-gagahan dengan membuat video dan menyatakan telah menyita buku yang dianggap kiri di toko buku.

Bagaimana bisa sipil dengan bangga menyita buku secara sepihak? Sedangkan polisi saja harusnya tak bisa menyita buku secara sepihak. Brigade Muslim Indonesia ini agaknya lupa bahwa anjuran utama dalam agama Islam adalah iqro, yang artinya bacalah. Artinya tak ada salahnya membaca literatur dari mana saja sebagai tabungan pengetahuan di kehidupan kita. 

Lagi pula, ada banyak tokoh-tokoh Islam terutama di Indonesia yang membaca dan mempelajari literatur mengenai marxisme. Seperti misalnya pemimpin Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto yang menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Dalam buku tersebut, Tjokroaminoto menuliskan, “Mengusap keringatnya orang-orang bekerja, memakan hasil pekerjaannya lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagiannya, dan semua perbuatan yang serupa itu, yang oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan, adalah dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena semua itu termasuk perbuatan riba. Dengan begitu nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada benihnya, membunuh kapitalisme sampai pada benihnya. Karena menurut Karl Marx menjadi dasar kapitalisme adalah memakan keuntungan meewaarde, atau memakan riba sebagaimana dalam pemahaman Islam.”

Dan orang yang memeluk agama Islam juga diwajibkan membayar zakat fitrah, di mana nilai-nilai zakat fitrah tersebut erat kaitannya dengan ajaran marxisme. Mungkin saja Karl Marx yang meniru ajaran Islam, akan tetapi tetap saja nilai itu sangat berkaitan. Lagi pula, apakah membaca dan memahami marxisme akan mendapatkan dosa?

Tampak sekali bahwa kelompok yang menamai diri Brigade Muslim Indonesia ini tak memahami buku yang mereka sita. Tentu hanya sekadar melihat sampul bukunya saja. Bagaimana tidak, salah satu buku yang mereka sita adalah bukunya Romo Franz Magnis-Suseno. Di pendahuluan bukunya ia mengatakan, “Kita jangan membiarkan diri diteror oleh orang-orang yang menuliskan pembodohan bangsa pada panji-panji mereka. Dan yang tidak kalah penting adalah: Komunisme boleh saja dilawan (dan menurut saya harus dilawan sebagaimana akan menjadi jelas bagi mereka yang membaca buku ini), akan tetapi dilawan dengan mengetahuinya!” Dari narasinya, Romo Magnis bersifat cenderung anti-marxis.

Sebenarnya, razia buku sudah tidak diperbolehkan sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 yang mencabut UU No. 4/PNPS/1963 tentang  Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Aparat negara atau kelompok sipil tak boleh menyita buku secara sepihak, harus terlebih dahulu melalui pengadilan. Jika memang buku-buku terbukti berisi ajaran komunisme, baru mereka bisa bertindak dengan retorika ‘diamankan’ yang nyatanya sebaliknya, sangat tidak aman.

Sesuai dengan undang-undang berlaku, harusnya polisi yang menyita buku di Probolinggo dan kelompok Brigade Muslim Indonesia di Makassar ini harus mendapatkan hukuman. Karena selain berlaku semena-mena, mereka juga melanggar undang-undang. Malah sebaliknya, mereka ini yang sebenarnya mengganggu ketertiban umum. Untuk apa ada undang-undang negara kalau orang bisa semena-mena berlaku ke orang lain? Bagaimana dengan korban-korban yang bersuara lalu diganjar dengan UU ITE. Sedangkan mereka yang menganggu orang lain bisa sesuka hatinya tanpa dikenai hukuman.

Razia buku akhir-akhir ini tentu sebuah kemunduran, gambaran alergi peradaban. Orang yang hidup setelah 21 tahun rezim orde baru, masih memegang stigma orde baru. Apalagi di negara yang memercayai demokrasi ini, tampaknya saat ini benar-benar krisis demokrasi. Orang bisa dengan leluasa membatasi orang lainnya tanpa memedulikan langkah-langkah yang demokratis. 

Apa yang dilakukan polisi dan Brigade Muslim Indonesia ini menjelaskan kepada kita semua betapa status sosial menjadi kekuatan bagi mereka untuk semena-mena. Polisi yang bekerja untuk negara, menjaga keamanan, menjadi dalih untuk menganggu orang yang sedang menciptakan ruang-ruang literasi di sudut kota. Begitu juga dengan Brigade Muslim Indonesia, sebagai orang yang memeluk agama Islam, agama mayoritas di Indonesia, menjadi kekuatan bagi mereka untuk mengganggu orang-orang yang ingin membaca marxisme dari sudut pandang Karl Marx sebagai pencetus, sampai sudut pandang Romo Magnis sebagai penganalisis kritis teori marxisme. Sepertinya, kita perlu sekali-kali menjadi orang rentan dan minoritas.

Editor: Siti Nurlaila Lubis
Sumber Foto: Tirto.ID 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.