Penderitaan Wanita yang Tertindas Budaya Patriarki

Penulis: Delfi Ana Harahap**

Judul: Perempuan di Titik Nol/Woman at Point Zero
Penulis: Nawal el-Saadawi
Penerjemah: Amir Sutaarga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun cetakan: 2014
Hal: 176
ISBN: 978-979-461-867-7

Gagasanonline.com– Nawal el-Saadawi merupakan seorang Dokter yang juga aktif sebagai penulis, serta seorang feminisme dari Mesir. Novelnya yang berjudul Perempuan di Titik Nol terinspirasi dari sebuah riset yang dilakukannya terhadap penyakit saraf (neurosis) di kalangan perempuan Mesir. Dalam novel ini penulis menggambarkan kehidupan seorang perempuan pada 1970-1980 an. Dimana Mesir masih kental akan budaya patriarki.

Salah satu masalah dimana kedudukan dan hak-hak perempuan dalam masyarakat, keluarga, maupun dalam hubungan langsung antara laki-laki dan perempuan masih terjadinya kesenjangan. Laki-laki seolah memegang otoritas penuh atas hak dan kehidupan perempuan. Perempuan masih dijadikan objek seksualitas dan kekerasan laki-laki. Hingga, pendidikan dibatasi sampai tingkatan SLTA. Pengetahuan tentang seksualitas dan pelecehan seksual pun juga masih menjadi wacana yang ditabukan, sehingga perempuan kurang mengerti saat dirinya sedang dilecehkan.  

Novel ini menceritakan kisah seorang pelacur kelas kakap bernama Firdaus yang akan divonis mati karena membunuh seorang germo pekerja seks komersial. Ia menolak menjumpai siapapun di hari-harinya sebelum digantung hidup-hidup. Namun, saat itu ia bersedia dijumpai seorang Dokter perempuan yang sedang meneliti penyakit saraf (neurosis). Ia mulai menceritakan segalanya.

Kisahnya dimulai saat ia masih kecil, dimana pelecehan seksual diterimanya dari seorang teman. Ia tidak tahu bahwa itu sebuah pelecehan, yang ia tahu adalah rasa enak di tubuhnya. Hidup di keluarga miskin juga menjadikan ayahnya seorang yang egoistik dan pemarah. Ibunya sering kali menjadi sasaran kekerasan ayahnya. Ayahnya tega makan seorang diri sedangkan anak dan istrinya tidak makan selama beberapa hari.

Saat usianya menginjak remaja, kedua orang tuanya meninggal, Firdaus tinggal bersama pamannya yang seorang bujangan. Kembali pelecehan diterima Firdaus, pamannya kerap kali menggerayangi tubuhnya dan ia hanya diam saja. Ketika pamannya menikah, Firdaus disekolahkan di SMA dan tinggal di asrama karena bibinya sangat membencinya.

Ketika di SMA Firdaus sempat memendam perasaan suka kepada guru perempuannya, karena menurutnya perempuan itu sangat baik. Selulusnya dari SMA Firdaus kembali kerumah pamannya. Bibinya menghasut suaminya sehingga Firdaus dinikahkan dengan seorang syekh yang berumur lebih dari 60 tahun. Pria tua itu memiliki bisul di wajahnya, yang baunya sangat mengerikan. Pria itu juga sangat pelit dan sering memukuli Firdaus. Karena tidak tahan Firdaus melarikan diri, terlantung-lantung dijalanan hingga ia bertemu dengan Bayoumi seorang pria yang membawanya pulang dengan iming-iming akan dicarikan pekerjaan.

Namun nyatanya Firdaus hanya menjadi budak Bayoumi, dan menjadikanya objek seksualitas, dan kerap kali melakukan pemukulan. Bayoumi juga menjual tubuh Firdaus pada teman-temannya. Setelah berhasil kabur dari Bayoumi, Firdaus kembali kejalanan dengan perut lapar dan keadaan yang mengenaskan. Saat dirinya telah sekarat dan susah bergerak, datang seorang mucikari yang membawanya pulang, wanita itu mempersolek Firdaus hingga Firdaus menjadi wanita cantik dan bernilai jual tinggi.

Sejak saat itu Firdaus menjadi seorang pelacur dengan harga tinggi, tetapi uang yang banyak itu tidak seutuhnya diterimanya, bahkan dia hanya mendapatkan sedikit sekali uang dari hasil menjual tubuhnya. Firdaus memutuskan kembali kejalanan, menjual tubuhnya secara acak kepada lelaki yang ditemuinya di jalanan. Suatu saat seorang lelaki yang hendak memperkosanya mengatakan dia adalah seorang perempuan pelacur yang sangat rendahan. Itu membuat Firdaus terpukul hebat, dan memutuskan berhenti menjadi pelacur.

Ia bekerja di salah satu kantor, dan jatuh cinta kepada seorang revolusioner. Setelah menyerahkan tubuhnya pada pria itu, Firdaus kembali kecewa karena pria itu hanya memanfaatkan tubuhnya dan akan menikah dengan wanita kaya raya. Kembalilah Firdaus ke jalanan menjajakan tubuhnya, tapi kali ini dia berani mematokkan harga tinggi dan memilih-milih pria mana yang akan menyetubuhinya. Hal ini membuat Firdaus menjadi kaya, hingga ketenarannya terdengar oleh seorang germo yang ingin menikahinya, namun Firdaus tidak mau.

Terjadilah percekcokan diantara keduanya, yang menyebabkan si germo tadi mati di tangan Firdaus. Sebenarnya Firdaus bisa dibebaskan dari hukuman gantung asalkan meminta pengampunan dari Presiden, namun dirinya menolak. Firdaus merasa tidak menyesal sama sekali membunuh laki-laki itu. Menurut Firdaus pekerjaanya diciptakan oleh kaum laki-laki. Bahkan ia lebih memilih menjadi seorang pelacur yang bebas dibandingkan menjadi istri yang diperbudak.  

Menurutnya seorang pelacur yang sukses lebih baik dibandingkan orang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan laki-laki, kemudian melakukan penghukuman kepada perempuan yang terkena tipu, merendahkannya dan mengikatnya dengan perkawinan sehingga perempuan dapat dijadikan budak seumur hidup laki-laki dan menghantam perempuan itu dengan penghinaan dan pukulan.

Pada cerita dari seorang pelacur itu, penulis memberikan inspirasi bagi kaum perempuan untuk lebih berani lagi melawan pelecehan seksual, mengajarkan pembaca terkhususnya laki-laki untuk lebih menghargai perempuan. Namun, cerita ini terlalu mengkriminalisasikan laki-laki dan terdapat beberapa bahasa yang sulit dimengerti.

 

Editor: Adrial Ridwan
Foto: Delfi Ana Harahap** 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.