Islam dan Pemilu

Penulis : Abdul Hadi**

Gagasanonline.com– Setiap menjelang dilaksanakannya Pemilihan Umum (Pemilu), baik itu untuk pemilihan Calon Legislatif (Caleg), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden, umat Islam selalu dibuat ambigu. Ada yang mengharamkan Pemilu, ada juga yang mengharamkan Golongan Putih (Golput). Bagaimana semestinya sikap seorang Muslim? “Jika Anda dan jutaan yang lain tidak ikut Pemilu. Jutaan orang fasik, sekuler, liberal, ateis akan ikut Pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita,” begitu pesan Hamid Fahmi Zarkasyi dalam akun Facebook-nya. Pesan yang ditebar oleh Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia itu, tentu saja ditujukan kepada para pemilih muslim yang memiliki paham bahwa Golput adalah sebuah pilihan sikap. Pro dan kontra atas pernyataan Fahmi tersebut, tak terhindarkan, baik melalui jejaring sosial, media massa, maupun diskusi-diskusi kelompok.

Sejak awal berdirinya republik ini, demokrasi adalah sebuah pilihan dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam demokrasi, kekuasaan ada di tangan rakyat. Tapi, tentu saja dengan banyaknya warga dan luasnya wilayah, tak semua rakyat bisa menjalankan kekuasaannya secara langsung. Karena itu, sebagian dari warga yang sudah punya hak pilih mewakilkan kepada mereka yang dianggap bisa melaksanakan aspirasinya. Itulah yang dinamakan demokrasi perwakilan. Di era pemilihan umum yang dinilai paling jujur dan adil, pada tahun 1955, perolehan suara Partai Masyumi bisa mengimbangi partai nasionalis. Di era Orde Baru, partai Islam tidak bisa berbuat banyak untuk bisa memulung suara dari umat Islam.

Di era reformasi, di mana ‘kran’ kebebasan telah dibuka, para tokoh berbondong-bondong membuat partai berasas Islam. Bahkan yang mengaku Islam pun juga ada. Mereka berlomba untuk mendapatkan suara dari konstituen Islam. Umat Islam pun diperebutkan setiap lima tahun sekali, tidak hanya dari kalangan partai berasas atau berbasis massa Islam, tapi juga partai-partai yang berasas nasionalis.

Baca : Inilah ‘Ad-Dukhan’, Angin Kiamat yang Mematikan

Acapkali kita dikejutkan oleh munculnya sosok-sosok religius yang historis. Mereka adalah para Caleg atau juga calon DPD yang tiba-tiba sering terlihat salat berjamaah di masjid, muncul di berbagai pengajian dan memberi sedekah kepada para jemaah. Mereka yang sebelumnya tidak ada rekam jejak sebagai pemakmur masjid atau musala, tiba-tiba mendadak  religius dan dermawan. Bahkan, seorang penyanyi dangdut yang sebelumnya mengumbar syahwat dan hidupnya dikenal hedonis, tiba-tiba berjilbab dan menjadi Caleg dari partai yang berasas Islam. Tapi kita juga perlu merujuk pada sunatullah sosial, bahwa jika umat ini baik maka Allah akan mengirimkan pada bangsa dan ini seorang pemimpin yang baik pula. Begitu pula halnya jika terjadi sebaliknya.

Lihatlah Surah Al-An’aam ayat 129, “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” Ibnu Abbas r.a. memberi komentar atas ayat ini, “Bila Allah  meridhai suatu kaum, Allah  menjadikan orang-orang terbaik menjadi pemimpin mereka, dan bila Allah  memurkai suatu kaum, maka Allah  menjadikan orang-orang terburuk mejadi pemimpin mereka.” Karena itu, agar kita mendapatkan pemimpin yang saleh, maka tidak ada jalan lain kecuali kita membina diri, keluarga, dan umat ini agar menjadi saleh, baik secara individual maupun sosial. Dan jika itu sudah kita upayakan secara terus menerus, maka Allah  akan mengirimkan seorang pemimpin yang saleh, satu sama lainnya saling dukung mendukung.

Sebagaimana firman-Nya dalam Surah At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang kufar, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain.

وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu [625], niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS: al-Anfaal [8]: 73)

Jika demikian keadaannya, dakwah yang terus menerus agar masyarakat  menjalankan ajaran Islam secara benar mesti dijaga, agar kezaliman hilang, dan Allah  Subhanahu Wata’ala memberi kita pemimpin yang saleh. Untuk meraih cita-cita tersebut, tidak bisa secara instan, dadakan, apalagi hanya melalui mekanisme lima tahun sekali.

Sumber : Ustaz Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil

Sumber Foto : matthewmachowski.com
Editor : Winda Oktavia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.