Ara, Gadis Sekecil Itu

Penulis: Delfi Ana Harahap**

Gagasanonline.com – Namanya Ara, kami bertemu dengannya di suatu sore. Aku dan temanku, Indah, saat itu kami jalan-jalan ke salah satu lapangan olahraga dekat kos-kosan, niatnya untuk cuci mata dan minum jus sembari menghabiskan waktu. Kami duduk di kursi penonton di pinggir lapangan basket yang sore itu digunakan untuk bermain futsal. Dari tempat duduk itu kami bisa melihat orang-orang yang sedang joging, anak-anak remaja latihan karate, orang-orang yang sedang main voli, dan yang hanya sekedar nongkrong saja, seperti kami. Beberapa pemain futsal sepertinya bukan asli Indonesia, terlihat dari wajah dan warna kulit mereka yang bukan domestik.

Pusat perhatianku beralih pada gadis kecil berumur 10-an tahun, pakaiannya lusuh dan sedikit kumuh. Dia berteriak-teriak girang di pinggir lapangan, setiap kali bola futsal terpental keluar lapangan, gadis kecil itu mengejarnya dan lekas-lekas memberikannya pada salah seorang pemain berwajah bule. Kulihat beberapa kali pria berwajah bule itu menggendongnya, kuperkirakan umur pria itu 30-an. Gadis kecil itu tertawa dan menarik baju pria berwajah bule itu dengan riang. Mataku risih melihat pria.

BacaMeski Sekadar Hati-Hati

“Kau risih tak lihat orang bule itu?” tanyaku pada Indah.

“Risih kenapa, tu?” Indah balik bertanya.

“Lihat, gadis kecil itu seperti gembel, orang bule itu kelihatannya berduit. Tak mungkin gadis kecil itu anaknya. Aku jadi berfikir yang tidak-tidak.”

“Aku juga risih, kita tunggu anak itu mendekat ke sini.”

Aku mulai berpikiran negatif tentang pria berwajah bule itu. Pikirku, Apakah dia pedofil – perilaku menyimpang seksual terhadap anakl di bawah umur – atau hanya sekedar baik saja pada gadis kecil itu? Indah pun sepertinya memikirkan hal yang sama denganku, selama menunggu anak itu mendekat, kami menyimpulkan beberapa kemungkinan negatif. Gadis kecil itu kini berdiri hanya dua meter di depan kami, karena bola menggelinding ke arah tempat duduk kami. Aku dan Indah lekas berdiri menghampiri anak itu.

“Dik, duduk di sana saja, yuk! Sama kakak…” ajakku. Gadis kecil itu hanya menggeleng.

Setelah dengan berbagai cara membujuk gadis kecil itu, akhirnya dia mau diajak duduk di kursi Bersama kami. Dia duduk di antara aku dan Indah.

“Adek namanya siapa?” tanyaku.

“Namaku Ara, kak!”

“Adek kenal om bule itu?” tanya Indah sembari menujuk ke arah berwajah bule.

“Kenal, dong!” jawabnya, arah matanya menatap riang ke arah pria berwajah bule itu saat menjawab.

“Kenal di mana? Kok bisa akrab sekali sampai digendong gitu?” tanyaku.

“Kenal di sini aja, om itu suka kasih uang”

“Pernah dipegang-pegang badan adek, atau di ajak pergi-pergi?” kini Indah yang bertanya.

“Enggak, cuman ketemu di sini aja.”

“Beneran?”

“Iya, kalau habis ngemis suka duduk-duduk di sini liat om itu.”

BacaMati di Setitik Kriminalisasi.

Aku dan Indah tidak terlalu kaget saat Ara bilang mengemis, karena sudah bisa kami duga, terlihat dari pakaian lusuh dan kumuh yang dikenakannya. Dia bercerita dengan lancar tentang kehidupannya, Ara setiap pagi diantar pamannya ke lapangan ini, dan malam harinya baru dijemput. Bapak dan ibunya pergi meninggalkan dia dan adiknya sejak kecil, mereka berdua ditinggalkan di rumah neneknya bersama sang paman.

“Nenek kerja apa?” tanyaku.

“Gak kerja, cuman jaga adik di rumah.”

“Paman kerja apa?”

“Enggak tahu.”

“Aku kayaknya pernah lihat Ara duduk-duduk di mini market pinggir jalan sana. Waktu itu udah malam, sekitar jam 10-an,” bisik Indah padaku.

“Adek malam-malam ngemis juga?” tanyaku.

“Iya kak, kadang kalau enggak di jemput, Ara tidur di depan mini market pake kardus.”

Walaupun mulanya agak ragu, Ara senang bercerita, katanya rumahnya sangat jauh. Terkadang dia pulang sendirian menggunakan angkot. Neneknya juga pemarah, dia hanya diberi makan sekali sehari. Kami merasa kasihan mengajaknya untuk makan di warung nasi, tapi Ara menolak. Meski kami sedikit memaksa, gadis kecil ini tetap bersiteguh tidak mau. Katanya neneknya berpesan jangan ikut ajakan orang tidak dikenal. Hingga akhirnya Indah mengiming-iminginya dengan es krim, barulah kemudian  dia mau.

Kami meninggalkan tempat lapangan itu, berjalan dengan menggandeng tangan Ara.

“Bapak-bapak buta dan istrinya itu sudah lima kali lewat di hadapan kita,” kataku pada Indah, arah pandanganku menatap seorang bapak tua berpakain lusuh dengan sebatang tongkat di tangan, dituntun oleh istrinya.

Sejak kami baru datang, kedua orang tua itu sudah ada di lapangan dan memang terus saja menggelilingi lapangan untuk mengemis, aku sampai bosan melihat mereka.

“Bapak itu tidak buta, Kak!” sahut Ara.

“Masa iya?” tanya Indah.

“Iya kak, dia pura-pura buta aja! Aku sering dimarahi bapak itu karena aku ngemis di dekat-dekat tempat dia. Kalau marah matanya melototin Ara, kalau orang sepi dia hitung-hitung uang di bawah pohon sana,” katanya sambil menunjuk ke arah pohon yang lumayan besar. Aku cukup kaget juga, sekarang ada-ada saja cara orang mendapatkan uang. Sudah berbohong, sok berkuasa pula.

Baca[Sastra Puisi] Sandiwara Zaman

Dengan menggunakan sepeda motor, kami membawa Ara ke mini market, tempat anak itu biasa tidur. Kami membeli tiga es krim, sambil menunggu azan magrib selesai dikumandangkan,, kami menikmati es krim di teras mini market.

“Adik tidak ingin sekolah?” tanya Indah.

“Ingin kak, tapi tidak ada uang…”

Setelah azan selesai, kami menuju kos Indah untuk mengambil helm dan mengantar Ara pulang. Awalnya dia menolak, katanya neneknya bakal marah. Tapi kami terus meyakinkan Ara dengan sedikit memaksa. Hingga dia pun akhirnya mau. Sebelum Ara kami antar pulang, kami mampir dulu ke kos Indah untuk mengajak Siska dan Rika, teman kami. Sebenarnya kami takut juga kalau-kalau anak ini rupanya dijadikan alat, sindikat begal atau apa. Sesampainya di kamar kos Indah, Ara kami suruh tidur-tiduran di kasur. Tapi dia malah mengurung diri di kamar mandi, katanya ingin buang air besar.

“Ikut aku bentar, kita ajak Siska dan Rika,” ajak Indah, kami menemui Siska dan Rika di kamarnya.

“Itu yang kalian bawa tadi anak siapa, Kak?” Tanya Siska ketika kami sudah di kamarnya, ternyata dia sudah melihat Ara tadi.

“Nemu di lapangan, dia pengemis. Jadi kami berdua mau ngantar anak itu pulang ke rumahnya. Tapi aku agak takut juga, mana tahu anak itu penipu atau keluarga begal. Jadi aku mau ngajak kau sama Rika, Sis,” terang Indah.

Beruntung Siska dan Rika mau menemani kami. Saat kami berdua kembali ke kamar, anak itu sudah tiduran di kasur. Kami mengajaknya keluar untuk segera berangkat. Anak itu lasak juga, semua benda yang dilewatinya dipegang-pegang. Dengan dua motor kami menyusuri setiap jalan yang diarahkan anak itu, dia ingat jalan pulang. Sampailah kami di sebuah rumah di pinggiran jalanan kota, hanya membutuhkan waktu 10 menit ke rumah ini. Rumah yang lumayan besar, dindingnya separuh kayu dan beton. Kami memarkirkan motor di bawah pohon jambu air, tepat di samping rumah itu.

Tiba-tiba dua orang pria dewasa, satu wanita hamil, satu wanita paruh baya yang menggendong anak kecil dan seorang nenek-nenek yang belum tua sekali keluar dari dalam rumah.

“Ada apa ini kok rame-rame?!” bentak pria dewasa yang lebih tua dengan nada tinggi. Aku terdiam antar kaget dan bingung,tidak mengira bakal mendapat penyambutan yang kurang sedap, Siska dan Rika juga diam, mereka terpaku sama sepertiku.

“Maaf, Pak, kami bertemu adek ini tadi. Jadi kami antar pulang,” Jawab Indah.

“Ketemu di lampu merah ya, Dek?” tanya si nenek.

“Enggak, Nek, di lapangan olahraga dekat kampus sana. Kan sudah malam jadi kami antar saja.”

“Oh begitu… kami kan terkejut kenapa rame-rame, dikira ada apa-apa tadi. Kami juga enggak tau kenapa dia sampai ke sana,” jawab pria yang membentak tadi.

Kami tersenyum getir, menyaksikan kepura-puraan keluarga itu.

“Kenapa kau sampai disana? Buat repot orang aja,” bentak laki-laki itu pada Ara, Ara terdiam,sepertinya gadis kecil ini ketakutan.

Setelah itu, kami pun langsung pamit pulang, mereka semua mengucapkan terimakasih, namun tak jauh dari rumah itu,kami berhenti di persimpangan gang.

“Entah siapa yang bohong aku tidak tahu,” kata Indah.

Kami menemukan kejanggalan-kejangganlan, semua cerita anak itu berbeda dengan apa yang kami temukan. Dia bilang rumahnya sangat jauh, tapi hanya perlu 10 menit kami sudah sampai di rumahnya. Dua ibu-ibu tadi menggunakan baju tidur yang bagus, dan berpenampilan bersih dan rapi. Di halaman rumah itu juga ada tiga sepeda motor yang juga masih mulus. Katanya hanya ada nenek, adik dan pamannya. Tapi kami menemukan enam orang sekaligus di sana.

Pria yang membentak kami tadi berkata mereka tidak tahu kenapa anak itu bisa ada di lapangan, sampai akhirnya kami bertemu dengannya dan membawanya pulang, sedangkan si nenek spontan menebak kami menemukan anak itu di lampu merah. Dan raut-raut wajah mereka semua terlihat panik dan sedikit ketakutan, terutama pria yang membentak kami tadi. Mungkin mereka sengaja menyuruh anak itu berbohong kepada semua orang saat di tanya agar orang merasa iba. Yang pasti kami sangat khawatir anak itu akan kena hajar malam itu. Dunia ini penuh rahasia dan tipu-tipu… Gadis sekecil itu…

*Cerpen ini terinspirasi dari kejadian nyata

Editor: Hendrik Khoirul
Ilustrator: Delfi Ana Harahap**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.