Kebebasan LPM Suara USU Terancam

Gagasanonline.com – Kritis ialah kata paling menjijikkan dan kata paling anti didengar bagi penguasa negeri ini. Jika bisa, biarlah para birokrat berebut bekerja dan menguasai negeri ini dengan semau mereka. Kala Rezim Soeharto, saat menguasai negara maritim hampir semua media yang berbau kritis dibungkam.

Baru-baru ini situs suarausu.co milik Pers Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) disuspensi. Hal tersebut terjadi setelah Rektorat meminta pengurus mencabut cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”.

“Pihak Rektorat minta cerpen itu ditarik, karena dianggap vulgar dan mempromosikan LGBT,” kata Widiya Hastuti, Pemimpin Redaksi Suara USU, dikutip dari tirto.id, Rabu (20/3/2019).

Dalam pemberitaan yang dimuat tirto.id, Cerpen tersebut dianggap vulgar karena mengandung kata ‘sperma’ yang ditulis oleh Yael Stefani. Suara USU dianggap mempromosikan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Cerpen itu berkisah tentang seorang perempuan lesbian yang dihujat habis-habisan oleh masyarakat.

Atas kejadian itu, pengurus Suara USU dipanggil pihak Rektorat. Mereka mendapati intervensi dari pihak Rektorat, seperti melarang Suara USU menulis hal seperti itu dan menyuruh menurunkan cerpen tersebut dari suarausu.co. Tak hanya itu, pihak Rektorat juga mengancam Suara USU jikalau cerpen itu tidak segera diturunkan. Namun, pengurus Suara USU tidak kunjung melakukan itu karena mereka merasa tidak ada yang salah dari konten tersebut.

Keesokan harinya, situs suarausu.co tidak bisa diakses. Mereka mengumumkannya lewat media sosial. “Suarausu.co sedang tidak bisa dibuka dan masih dalam tahap perbaikan. Semua pemberitaan akan dialihkan ke media sosial Suara USU,” sebutnya.

Jika suspensi situs suarausu.co tersebut terkait intervensi pihak rektorat sebelumnya, hal ini jelas mematikan ruang gerak mahasiswa. Berdalih kata ‘sperma’ terlalu vulgar, lalu bagaimana dengan pembelajaran ketika menduduki sekolah dasar yang sangat jelas mempelajari tentang hal berbau seks, namun dalam konteks edukasi.

Seks edukasi di negeri ini memang sangat dibatasi sekali. Padahal banyak produk seni dan sastra yang juga menggunakan kata-kata vulgar, tetapi karya tersebut viral dan diterima di kalangan masyarakat.

Terkait Suara USU, yang katanya mempromosikan LGBT tergantung bagaimana sisi pembaca melihatnya. Dilihat dari aspek hak asasi manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Sangat jelas semua hak asasi manusia harus dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah, seharusnya termasuk perlindungan terhadap kaum LGBT. Namun negara ini sangat melekat akan norma-norma yang berlaku,terutama norma agama. Di dalam semua agama sudah jelas LGBT dilarang.

Indonesia juga masih melekat pada adat istiadat tradisional. Dalam adat istiadat tersebut kurang menyetujui homoseksualitas dan berlintas-busana, yang berdampak kepada kebijakan publik. Misalnya, pasangan sesama jenis di Indonesia, atau rumah tangga yang dikepalai oleh pasangan sesama jenis, dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hukum yang lazim diberikan kepada pasangan lawan jenis yang menikah. Sebagian besar wilayah Indonesia tidak memiliki hukum terkait perilaku sodomi, dan saat ini tidak mengkriminalisasi perilaku homoseksual pribadi dan non-komersial di kalangan orang dewasa. Akan tetapi, sayang hukum di Indonesia tidak melindungi komunitas LGBT terhadap deskriminasi dan kejahatan kebencian

Namun pernah kita berfikir terhadap psikis mereka yang LGBT tersebut? Jika bisa memilih, mereka pasti ingin hidup dan berkembang menjadi manusia normal. Tidak ada satu pun orang di dunia ini lahir dalam keadaan ‘berdosa’.

Dalam konteks kebebasan pers, sebenarnya tidak ada yang salah dalam cerpen tersebut. Kebebasan pers ialah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media, bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, percetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah dalam material lainnya tanpa harus ada campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Tindakan menghalangi kebebasan pers dan kerja jurnalistik harus ditentang dan dilawan karena jelas bertentangan dengan konsep demokrasi.

Foto: Adrial Ridwan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.