Dehumanisasi di Ruang Belajar Formal

Oleh: Bagus Pribadi

Gagasanonline.com – Apa ada kalimat yang tepat dalam menggambarkan status mahasiswa untuk jadi kalimat pembuka tulisan ini? Saya tak tahu harus menulis kalimat pembuka seperti apa untuk menyapa pembaca. Tadinya saya ingin menuliskan “Hidup Mahasiswa”. Tapi, apakah mahasiswa masih hidup? Atau sekadar hidup saja? Semoga pembaca dapat membantu menjawab makna dari kalimat “Hidup Mahasiswa”.

Saya pernah dengan lantang mengucapkan kalimat “Hidup Mahasiswa”. Tentu ketika itu saya baru memasuki dunia perkuliahan dan jadi korban retorika senior yang menjadi panitia acara tahunan dalam rangka menyambut mahasiswa baru. Namun, seiring berjalannya waktu semuanya terkikis sedikit demi sedikit, syukurlah. Karena cepat atau lambat kita juga akan mengetahui status kita yang sebenarnya seperti apa. Jadi, retorika-retorika seperti itu sudah tak mempan lagi.

Lingkungan kita menyatakan jika ingin hidup bahagia di masa depan dimulai dengan bersekolah. Ketika kita memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan sudah pasti tujuan utamanya mencari ilmu-ilmu baru dan menambah ilmu pengetahuan guna perbekalan di masa depan.

Namun nyatanya, pendidikan formal yang menurut masyarakat sebagai sarana utama menuntut ilmu, justru tak selalu mendukung kegiatan belajar. Dalam proses kegiatan belajar mengajar, sering kali pengajar melanggengkan sifat-sifat kekuasaan. Berperasaan bahwa di ruang belajar itu dialah satu-satunya sumber pengetahuan yang paling benar. Seringkali tak terima dengan argumen mahasiswa yang mencoba untuk menyampaikan aspirasinya. Beberapa pengajar di ruang belajar formal melabelkan dirinya sebagai manusia, namun menganggap dirinya paling benar dan tak bisa disalahkan.

Baca: Matinya Otonomi Kampus UIN Suska Riau

Biasanya pengajar membuat kontrak kuliah yang tak bisa diganggu gugat keabsahannya oleh mahasiswa. Berbagai macam cara dilakukan untuk membuat mahasiswa mematuhi daftar kontrak kuliah, bahkan ancaman, sebagai contoh kecil, pengajar mengancam akan memberikan nilai rendah serta tak bisa mengikuti ujian tengah semester maupun ujian akhir semester bagi mahasiswa yang tak mematuhi kontrak perkuliahan. Ancaman-ancaman seperti itu menjadi cara yang paling ampuh di kampus di mana saya sedang berkuliah. Sebab itulah, di atas saya mempertanyakan status mahasiswa yang katanya “Hidup Mahasiswa.”

Sebenarnya saya tak masalah jika kode etik mahasiswa diterapkan sesuai konteksnya. Tapi yang jadi masalah adalah ada beberapa kode etik saat ini tak tepat untuk dijalankan, semisal peraturan pelarangan rambut gondrong. Membuat aturan untuk mahasiswa namun tak pernah berdialog dengan mahasiswa mengenai aturan tersebut. Bahkan membuat aturan yang sama sekali tak bisa dipahami manfaatnya di mana dan untuk siapa. Seperti, mahasiswa dilarang gondrong dan kalau tak dipangkas, mahasiswa tersebut tak bisa mengikuti ujian. Ya, salah satu ancaman paling ampuh seperti yang saya tuliskan di atas.

Saya pikir hal-hal semacam itu  sudah tren 20 atau 30 tahun lalu, media televisi zaman dulu membuat judul berita seperti, “Lelaki Gondrong Memperkosa Mahasiswi.” Begitu negatif stigma orde baru terhadap lelaki gondrong pada saat itu. Bedanya terletak di ancamannya, kalau 20 atau 30 tahun lalu ancamannya hilang atau jadi mangsa penembak misterius. Kalau sekarang ancamannya dapat nilai rendah atau tak bisa ikut ujian, sangat tidak elegan. Kan, lucu, orang yang hidup di zaman sekarang masih memegang erat stigma orde baru.

Coba pikirkan, relevan atau tidak sama sekali, melarang mahasiswa gondrong? Kalau mahasiswa tersebut gondrong, yang dirugikan siapa? Kalau mahasiswa tersebut memangkas rambutnya, yang diuntungkan siapa? Tak berpengaruh untuk siapapun. Lebih baik seorang pengajar membuat aturan yang dampaknya lebih banyak dirasakan oleh semua kalangan, contohnya dilarang buang sampah sembarangan dan kurangi penggunaan barang berbahan plastik. Karena jelas, sampah menjadi salah satu masalah besar di negeri kita ini. Permasalahan lingkungan di darat pun sampai ke laut imbasnya, sebagian besar sampah di negeri ini dibuang ke laut. Dan yang dirugikan bukan hanya manusia, tapi hewan dan tumbuhan juga turut merasakannya.

Baca: Gondrong, Denim, dan Arah Perjuangan

Secara sadar atau tak sadar, peran pengajar yang seperti itu telah berkontribusi mematikan mental mahasiswa. Mahasiswa butuh mental yang kuat dan banyak pertimbangan ketika harus merelakan diri mendapati ancaman yang telah ditetapkan oleh pengajar. Begitulah, pengajar telah sukses menjadi raja di ruang belajar, menghapus kesetaraan derajat, mematikan mental dan mendiskriminasi manusia melalui profesinya yang disebut ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itu.

Para pengajar membuat aturan sendiri dan mengabaikan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1), yaitu: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Juga mengabaikan Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 6 ayat (2), yaitu: “Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.”

Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia mengatakan, “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, walaupun dia sarjana.” Artinya, sarjana pun harus menjunjung tinggi asas kemanusiaan, apalagi perguruan tinggi yang orang-orang di dalamnya sedang mengejar sarjana.

Pendidikan seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga tercipta rasa ingin tolong-menolong antar manusia, bukan sebaliknya. Masyarakat membutuhkan mahasiswa yang bernalar kritis sama sekali tak didukung oleh suasana dalam ruang belajar formal. Jangankan untuk membantu masyarakat yang sedang ditindas kapitalis, mahasiswa yang bantuannya dibutuhkan itu pun ditindas mentalnya di ruang belajar. Ruang belajar menghapus istilah agent of change yang dikoar-koarkan panitia penyambutan mahasiswa baru. Ya, sudah saatnya membuang istilah itu ke antah berantah. Jangan buang ke laut, karena istilah itu termasuk salah satu sampah terbesar di muka bumi ini.

Para pengajar seperti itu tidak menyadari dan masih saja tenggelam dengan keangkuhannya, barangkali mereka tidak tahu bahwa masih ada tempat-tempat belajar yang tidak berbentuk ruangan segi empat itu. Para mahasiswa menyadari eksistensinya dalam hidup dan mencari tempat belajar yang tidak formal. Mahasiswa menciptakan ruang diskusi, membuka lapak baca gratis, bahkan organisasi internal kampus menjadi salah satu tempat nyaman untuk belajar, misalnya Pers Mahasiswa.

Mahasiswa bisa menciptakan tempat belajar yang menjunjung tinggi emansipasi, berdiskusi membahas isu-isu ketimpangan sosial dan kontradiksi yang terjadi di negeri ini. Tidak perlu rapi, hanya dengan memakai kaos, bahkan kaos perlawanan dan sendal jepit. Pada praktiknya, tempat belajar yang tidak formal seperti itulah yang berhasil menciptakan nalar kritis, menumbuhkan mental dan menjaga kesetaraan sosial.

Kenapa mahasiswa menciptakan tempat-tempat belajar yang seperti itu? Karena ruang belajar formal sesungguhnya tidak memenuhi kebutuhan mahasiswa secara moral. Bahkan ketika kelas membutuhkan alat proyektor pun harus berebut dengan kelas lain, padahal eksistensi proyektor tersebut hanya sebatas aksesoris. 

Baca: Matoa Kita Lucuti Kain yang Membelit Pohon

Realitasnya, ruang belajar yang sibuk dengan aturan-aturan pembelajaran menuju ujian, ruang belajar yang menciptakan orang-orang akan bekerja di mana setamat kuliah, dan ruang belajar yang apatis terhadap masyarakat yang didiskriminasi aparat sebagai tangan (tukang pukul) korporasi, malah membunuh mental mahasiswa. Seperti konflik agraria di Kulon Progo, Kendeng, dan Gunung Talang, adakah mahasiswa yang peduli?.

Jika ruang belajar formal terus saja menjalankan pola-pola yang seperti ini, lalu apa artinya menjadi mahasiswa? Ruang belajar formal terus-menerus menjalankan praktik dehumanisasi kepada mahasiswa. Atau pengajar tak pernah membaca karya-karya Romo Mangun? Para pengajar saat ini lupa, bahkan sama sekali tak mengetahui tujuan awal Ki Hajar Dewantara membangun Taman Siswa untuk mendidik pribumi melawan kolonialisme.

Lalu bagaimana mahasiswa sekarang mendapatkan jalan cerah untuk menghadapi kontradiksi yang ada di masyarakat, sedangkan rambut saja diatur-atur. Negara, khususnya pendidikan terlalu jauh mengurusi kehidupan pribadi orang, namun lalai dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang merugikan orang banyak.

Saya kagum kepada para pengajar yang masih mau ikut kongko-kongko ketika mahasiswa sedang berdiskusi di pelataran kampus. Bahkan ada seorang pengajar dalam ruang belajar formal mengatakan kepada mahasiswanya, kurang lebih seperti ini, “Kita ini sama, saya hanya lebih dulu tahu perihal mata kuliah ini. Bisa jadi buku yang kalian baca belum saya baca atau lebih banyak jumlah buku yang sudah kalian baca dibandingkan saya.” Saya yakin, pengajar yang seperti ini adalah pengajar yang menghargai sesama manusia.

Di kehidupan ini, apalah yang lebih penting kalau bukan kemanusiaan. Hal yang diperlukan adalah kerjasama antara pengajar dengan mahasiswa. Jika hal tersebut dilakukan, pengajar pasti mengerti kehidupan dan apa yang dirasakan mahasiswa dan tak bakal mengebiri kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Sehingga mahasiswa mampu menyumbangkan solusi atas berbagai masalah yang melanda lingkungan sekitar, baik di kampus maupun di luar kampus.

Editor: Hendrik Khoirul
Sumber Foto/ Qureta.com

2 thoughts on “Dehumanisasi di Ruang Belajar Formal”

  1. Saya merasa senang membaca artikel ini, salam saudara untuk si penulis, Indonesia butuh generasi yang bisa serta mau menulis & berpikir

  2. I like it. Tulisannya membuat tuhan-tuhan kecil
    sadar, kalo mereka bukan tuhan. Seenak ndewe maksakan kehendaknya. Andai saja mereka mahasiswa!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.