Masih Adakah Kewibawaan Seorang Presiden?

Gagasanonline.com– Masih hangat di telinga kita mengenai revisi UU MD3 yang begitu kontroversial dikalangan publik.  Hal tersebut dikarenakan pasal-pasalnya yang menjadikan lembaga legislatif itu seolah kebal hukum dan otoriter.

Terlepas dari hal itu, menyoroti ekspresi Presiden Jokowi yang terlihat kaget dan seolah tidak tahu mengenai isi pasal-pasal yang direvisi, tentu sangat mengecewakan sekali. Karena dari situ kita dapat melihat dan menilai tidak adanya keseriusan pemerintah (Presiden) terhadap hukum yang ada di Indonesia saat ini. Inilah fenonema yang terjadi di Indonesia, tidak adanya kepastian dan ketegasan hukum.

Seperti kita ketahui, separuh dari kekuasaan legislatif itu berada di tangan seorang presiden (UUD Pasal 20 ayat 2 & 3). Presiden Jokowi berdalih tidak tahu mengenai hasil dari revisi UU MD3 akan menjadi seperti itu. Padahal pemerintah sudah memberikan mandat melalui menterinya, yaitu Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Yassona laoly, untuk turut serta membahas revisi UU MD3 bersama DPR.

Saya melihat fenomena ini begitu mengherankan, bagaimana bisa seorang menteri yang tugasnya membantu presiden atau bahasa kasarnya adalah “Pembantu Presiden” tidak menyampaikan hasil dari pada pertemuan tersebut kepada pemberi mandat? Dan malah secara terang terangan Yassona laoly mengatakan “Saya memang tidak memberi tahu presiden mengenai hasil revisi-revisi yang dilakukan bersama DPR.” Dari kasus ini patut kita pertanyakan di mana harkat dan martabat serta kewibawaan seorang presiden sebagai panglima tertinggi di negeri ini.

Seharusnya Kemenkumham diberhentikan. Karena perilaku yang dilakukan Kemenkumham itu  suatu bentuk perbuatan yang secara tidak langsung menjatuhkan kewibawaan seorang presiden. Namun, kenyataannya jangankan diberhentikan, disinggung sedikitpun tidak. Apakah memang tidak ada lagi kewibawaan seorang presiden?

Ditambah dengan reaksi dari Presiden Jokowi yang tidak mau menandatangani revisi UU MD3, yang mana tidak ditanda-tangani pun akan tetap berlaku dalam 30 hari ke depan, seperti yang diamanatkan UUD pasal 20 (5). Tindakan Presiden Jokowi tidak menandatangani revisi UU MD3 hanya membuang buang waktu saja. Apalagi menanggapi persoalan UU MD3, presiden menyatakan “Jika ada pihak yang tidak setuju, silakan melakukan judicial review!”.

Kalau alasan presiden hanya untuk menghindari tanggapan  “Kalau turut menandatangani berarti itu adalah sebuah dukungan terhadap revisi UU MD3” Itu hanya perbuatan yang sia-sia.

Karena masyarakat sudah mengetahui UU yang dibuat itu harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah, ditambah lagi sebagian besar di DPR itu adalah partai-partai pendukung Presiden Jokowi.

Saya tidak mau berspekulasi Ketidaktahuan presiden terhadap revisi itu dikarenakan kesengajaan atau tidak. Seandainya itu memang kesengajaan sungguh drama yg menggelitik hati perut saya. Yang pada intinya sengaja ataupun tidak disengaja dalam hal ini sungguh membuat harkat dan martabat serta kewibawaan seorang panglima tertinggi di negeri ini jatuh.

Tulisan ini bukanlah suatu bentuk provokasi untuk membenturkan presiden dan menterinya, melainkan untuk turut menjaga marwah, harkat serta kewibawaan seorang presiden sebagai panglima tertinggi di Negeri Republik Indonesia.

 

Penulis: Muhammad Zulfan Arif*

*Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Suska Riau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.