Sepahit Kopi Arabika

Oleh : Lailatu Rahma

“Alya Rena S.Pd anak dari Bapak Jery dan Ibu Nela. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, IPK 3,95 dengan predikat cumlaude. Merupakan mahasiswi pemuncak Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,” gema Moderator Sidang Senat Terbuka. Dengan bangga kedua orang tua Alya berdiri sembari tepuk tangan sekeras mungkin, agar semua orang tahu bahwa Alya adalah putrinya. Dengan penuh rasa gemetar, ia melangkahkan kaki menuju panggung. Diiringi tepuk tangan yang meriah dari semua wisudawan/wisudawati dan juga para orang tua yang hadir. Alya berjabat tangan dengan Rektor serta juga Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan untuk pertama kalinya. Pun mungkin untuk yang terakhir kalinya.
***
Hujan kembali membasahi Kota Pekanbaru. Jalanan becek dan banjir, bukan jadi penghalang untuk Alya berangkat kekampus. Tepat pukul 08.00 WIB, Alya mengunci pintu rumah, bersiap ke kampus. Tak lupa gorengan yang ia buat sejak pukul 03.00 WIB dipikulnya keranjang tersebut dengan tangan kiri. Tangan kanan ia gunakan untuk memegang payung. Jarak dari rumah ke kampus tidak terlalu jauh, lebih kurang dari dua km. Cukup dengan menggunakan kedua kakinya, untuk sampai kekampus.

Senyuman yang terukir di pipi Alya tak pernah sirna. Semangatnya selalu membara. Ia tak ingin keadaannya semakin keruh jika ia terus berkeluh kesah. Alya anak terakhir dari tujuh bersaudara. Kini orang tua Alya tak mampu lagi mengais rezeki, hanya mengharapkan hasil kebun ubi yang tak seberapa. Semua kakak alya sudah kerja dan menikah.

“Sudah lah, Al. Kamu enggak perlu kuliah, langsung nikah saja. Kuliah itu hanya menghabiskan uang. Toh setelah kamu wisuda, belum tentu kamu dapat pekerjaan yang layak. Kasian Ibu Bapak, tak sanggup lagi mencari uang,” kata Siti, kakak pertama Alya. perkataan itu yang selalu ia ingat.

Siang itu, dua hari menjelang pendaftaran ulang di Universitas Alya diterima, tutup. Terjadi perdebatan yang sengit. Semua kakak alya tidak menyetujuinya untuk melanjutkan studi keperguruan tinggi, penuh amarah dan tangisan. Ibu tak mendukung Alya. Pun bapak juga sama. Namun tekad yang tinggi dari Alya lah yang mampu membawanya bergelut di dunia perkuliahan.

“Apapun yang terjadi, Al tetap kuliah. Al tak peduli, Al bisa mencari uang sendiri. Al hanya butuh restu Ibu dan Bapak. Tanpa restu Ibu dan Bapak, apapun yang Al lakukan tidak berkah. Karena ridho Allah ada pada ridho orang tua,” penuh isak Al mengungkapkan. “Al janji Al tidak akan merepotkan Ibu Bapak serta Kakak-Kakak. Al mau belajar hidup mandiri, Al mau sukses Bu, Al mau keliling dunia, Al mau melihat dunia baru. Izinkan Al,” lanjut Alya memohon. Tanpa kata, Ibu dan Bapak menganggukkan kepalanya pertanda setuju sambil menyeka air mata.

Hari itu juga Alya berangkat dari Tembilahan ke Pekanbaru, dengan membawa uang satu juta rupiah dan beberapa pakaian. Sesampainya di Pekanbaru, Al tidak tahu jalan menuju kampus. Bagaimana mungkin, ini pertama kalinya ia memijaki tanah Pekanbaru. Ia pun berinisitif menaiki angkutan umum. Dari pelabuhan ke kampusnya, ia dikena tarif Rp 50.000,00. Alya berusaha melobi agar tarif tidak semahal itu. Dengan susah payah, melobi layaknya seorang pengemis, tarif pun turun setengah harga.

Masih dengan tentengan tas besar dari kampung. Al dikira ingin pulang kampung. Kernet travel berusaha membujuk untuk mau menaiki travelnya. Hingga tas Alya ditarik oleh dua orang kernet. Alya saat itu tidak mengerti, ia kira itu adalah perampokan. Al pun berteriak,

“JAMBRETTT…. Tolong….,” satu tali tas Alya terputus.

Seketika Al berteriak datanglah seorang pemuda yang tampan menghampiri Alya dan membantunya. “Hei, kalian tidak tahu mana yang mau pulang kampung dan mana yang baru datang. Dia baru saja sampai kesini dan mau masuk ke kampus. Kenapa kalian masih memaksa? Sudah pergi sana,” pemuda itu menyelamatkan Alya dari dua kernet itu. Alya terpana. Ternyata masih ada pemuda yang mau menolongnya.

“Terimakasih ya, sudah nolongin. Kok kamu tahu kalau aku ingin ke dalam?” Ucapan Alya terbata karena grogi yang menyelimuti.

“Sip, aku hanya mengira. Aku duluan ya,” pemuda itu pergi begitu saja tanpa ada salam perkenalan.
Alya hampir saja lupa kalau pendaftarannya tiga jam lagi ditutup. Ia pun berlari membawa tas berisikan pakaian sembari mencari gedung tempat pendaftaran. Cukup lama.

Sesampainya di tempat pendaftaran, sisa waktu tinggal 30 menit. Panitia sudah beres-beres tempat. Namun, rezeki Alya tidak kemana. Panitia berbaik hati menerima Alya. Proses pendaftaran ulang telah usai. Ia senang, seketika senyum gembiranya redup. Ia lupa kalau tidak memiliki tempat tinggal, tidak tahu harus kemana setelah ini. Matahari sudah mau berpindah tempat. Kepanikan yang memenuhi jiwanya. Ia berkeliling kampus, berharap ada rumah yang akan ia jumpai.

***

Hari ini toga yang dinantikan telah terpasang dikepala Alya. Rasa bangga menyelimuti Alya hari ini. Bagaimana tidak, bukan perkara mudah ia mendapatkan toga ini. 3 tahun 7 bulan ia harus mengeluarkan tenaga ekstra, keringat, hingga kaki pun hampir saja hilang karena perjalanan yang selalu jauh. Sebagai pemuncak Universitas, Alya diminta untuk menyampaikan pesan dan kesannya selama perkuliahan. Jantung alya rasa ingin keluar dari tempatnya, berdetak begitu kencang. Walau sebelumnya Alya telah mempersiapkan diri, tapi demam panggung selalu saja terjadi.

Diatas mimbar alya menyapa semua penonton. Ia mencari seseorang yang selalu ada untuknya. Tak perlu waktu lama, wajah seseorang itu telah didapatinya. Diawali dengan senyuman, Alya membuka pembicaraannya dengan mukadimah seperti biasa. Teks yang ada di tangan kirinya tak pernah lepas. “Sungguh saya tak menyangka bisa berdiri di hadapan semua wisudawan/wisudawati, orangtua, kerabat, sabahat, serta petinggi UIN SUSKA RIAU. Hari ini saya berhasil meraih gelar Sarjana.

Namun ketahuilah teman-teman seperjuangan, Bukan gelar yang kita cari di sini, bukan IPK yang kita kejar, bukan untuk toga yang kita kenakan saat ini. Tapi tentang bagaimana kita berjuang, pelajaran apa yang kita dapatkan. Hikmah apa yang kita rasakan. Pahit manis selama menjadi mahasiswa, itulah yang akan kita ceritakan ke anak cucu. Bukan tentang IPK, TOGA, GELAR.”
***
Pagi ini Alya ujian tengah semester. Jam 08.00 wib Alya harus tiba di kampus. Hujan terus saja membasahi bumi. Tak lebat. Hanya saja jika diterobos, maka basahlah yang akan Alya dapatkan. Setengah jam alya menunggu hujan reda, namun tak kunjung reda. Akhirnya Alya memutuskan untuk berangkat ke kampus. Mengenakan mantel hujan dan payung, serta menenteng keranjang gorengan yang akan diletakkan di kantin jujur.

Dipertengahan jalan, ada seekor anjing yang menggonggong dan berlari ke arahnya. Alya takut dan berlari kencang agar anjing tidak menggigitnya. Dengan nafas yang tersengal, berlari membawa tas dan keranjang gorengan, membuat Al tak berdaya. Ia tak lagi melihat di depannya ada sebuah batu cukup besar. “Aduuh …tidak ….” Al terjatuh dan menutup mukanya dari anjing. Anjing itu melewati Alya dan mengejar betina yang ada di depannya. Alangkah bodohnya Alya saat itu. Ia tidak melihat ada anjing lain di depannya. Gorengan yang Alya bawa jatuh ke tanah, dibasahi hujan. Alya sedih, ia mengumpulkan beberapa gorengan yang tersisa.

Layaknya kisah Romeo dan Juliet. “Kamu tidak apa?” tanya seorang pemuda yang menghampirinya. Alya sedikitpun tidak mempedulikan suara yang bertanya, ia sibuk memilah gorengan yang masih layak untuk dijual. Sambil menyeka pipinya. “Sini aku bantu,” tawaran pemuda itu. “Gak perlu. Aku bisa kok, terima kasih,” dengan nafas yang tak teratur Alya membantah. Pemuda itu asik melihat Alya, setelah ia beranjak dari tempat ia terjatuh, pemuda itu menawarinya tumpangan, namun Alya menolaknya.

Sesampainya di kampus, Alya meletakkan gorengan di tempat biasa dan bergegas ke ruang belajar. Jika dijadikan uang, satu gorengan di hargai seribu rupiah. Namun jika semua gorengan itu habis terjual, maka totalnya 50 ribu. Alya biasanya dalam sehari membawa 150 gorengan. Dikarenakan musibah yang tak terduga, hari ini Alya hanya mendapatkan 50 ribu, itupun jika semua orang jujur.

Pernah suatu ketika, Alya mengalami kerugian yang cukup besar. Tidak semua mahasiswa jujur, uang Alya setengahnya hilang. Bahkan modalpun tidak tertutupi. Hampir saja Alya ingin melepaskan kebiasaannya mejual gorengan.
Setelah ujian tengah semester usai. Alya berlari menuju tempat gorengan. Ia khawatir, akan terjadi kecurangan untuk kesekian kalinya. Sesampainya ia di lokasi, gorengan Alya habis tak tersisa. Uang pembeli tidak ada ditempat biasa. Alya kecewa, dan ia membongkar tempat gorengan, barangkali ada uang yang tercecer. Saat Alya membongkar, ia menemukan amplop putih. Pun amplop itu di buka. Ada uang 400 ribu di dalamnya dan secarik kertas.

Aku ikhlas menolong kamu. Kamu lebih membutuhkan uang ini. Semoga bermanfaat ya. Jangan tanya aku siapa. Karena kamu nanti juga akan tahu.

Salam kenal,

Pemuda yang kamu tolak tawarannya

***
“Teman seperjuangan yang selalu bahagia. Hidup ini bukan perkara harta, tahta, dan wanita. Tapi hiduplah seperti esok anda akan mati. Dengan begitu teman-teman akan merasakan nikmat sejati dari sebuah kehidupan. Saya sempat terfikir untuk berhenti kuliah dan ingin menikah saja, karena ekonomi yang tak mencukupi. Saat itu saya sudah semester lima. Rasanya sia-sia jika berhenti. Di setiap jam kosong saya isi dengan hal yang bermanfaat. Berjualan, mengajar private, jadi pelayan di sebuah kafe. Dalam 2 bulan saya berhasil mengumpulkan uang untuk membayar uang kuliah. Jangan tanyakan kapan saya belajar dan menulis skripsi,”.

Sambil menyeka air mata di pipinya, Alya melanjutkan pidatonya. “Pesan untuk teman semua. Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Karena satu detik saja yang terlewatkan, tidak mungkin kembali lagi. Semangat pemuda Indonesia. Mari kita bangkit untuk Indonesia lebih maju dan bersatu,”.

Gemeruh tepuk tangan dari wisudawan/wisudawati menambah haru dalam jiwa Alya. Ia tak menyangka, baru saja sore kemarin sampai di kampus ini. Di tipu angkutan umum, hampir di jambret, ditolong pemuda tampan, di kejar anjing yang ternyata itu hanya dugaan Alya yang salah, hingga gorengan Alya terjatuh. Namun lagi-lagi seorang pemuda menolongnya, tapi ia tolak. Ketika selesai ujian tengah semester, Alya di kejutkan dengan sepucuk surat dan sejumlah uang yang sangat membantunya.

***
“Satu dua tiga.. ciisss” seorang photograper memotret momen Alya, pemuda disampinganya, Bapak dan Ibu. “Al, kamu ingat gak sepucuk surat dalam amplop putih dan beberapa uang?” Tanya pemuda itu pada Alya. Alya mengangguk pertanda ia mengingatnya. “itu aku Al. Selama ini akulah yang memakan gorenganmu tanpa bayar. Tapi tak semua, dalam sehari aku makan 2 gorengan. Karena aku merasa kalau kamu bakal jadi pendamping hidupku kelak. Dan terbukti. Sekarang kamu di sampingku,” Pengakuan dari pemuda itu.

“Jadi kamu yang selama ini mengambil gorengan tanpa bayar?” ungkapan kekesalan Alya. “Hehehe, iya. Tapi kan sudah aku ganti, jadi impas dong,” pemuda itu berusaha membela diri.

Canda tawa di hari bahagia ini tak ternilai harganya. Keringat yang banyak tercurah. Telah terbayar dengan hari ini. Kehidupan mahasiswa pasti ada pahitnya. Layaknya kopi arabika. Hanya saja, jika kita bisa menikmatinya, maka pahit itu tidak lagi terasa.

Salam
Alya Rena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.