Bekal Pengalaman dari Gagasan

Oleh: Melba Ferry Fadly

Pukul 10.15 WIB. Pertengahan Juli 2010. Gagasan berkunjung ke Riau Pos, Jalan HR Subrantas, Panam, Pekanbaru. Pagi itu, Gedung Riau Pos masih sepi. Di ruang lantai dua, tiga meja berderet membentuk leter L. Di atasnya ada tumpukan kertas serta satu buah komputer.
Di etalase kaca sebelah kanan tersusun rapi piagam. Nazir, sapaan akrab Muhammad Nazir Fahmi tidak begitu sibuk dengan monitor di depannya. Di ruangan kira-kira empat kali empat meter itulah tempatnya bekerja. Senyum hangat Nazir menyambut kedatangan Gagasan saat itu.
***
Putra dari Samsul Bahri dan Fahmida ini dilahirkan di Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 28 November 1972. Saat kecil ia berada di lingkungan keluarga serba kekurangan. Tamat SMA, ia tidak langsung kuliah. Namun dengan bekal seadanya, Nazir memberanikan diri merantau ke Pekanbaru. Tidak mudah bagi Nazir bertahan di rantau orang. Sehari-hari ia bekerja sebagai kuli bangunan. Kemampuan itu ia dapat sejak di kampung halaman. Meski demikian, Nazir tak patah semangat meraih sukses.
Saat itu Nazir tinggal dengan pamannya, di Jalan Pandan Kecamatan Tangkerang. Nazir berkisah, kala itu ia sering mendapat tender menggali sumur. Rata-rata sumur bor di sekitar kompleks tempatnya tinggal, Nazir yang kerjakan.

“Kadang-kadang sampai seelas cincin saya masuk ke dalam. Resikonya luar biasa,” katanya.
Selain menggali sumur, ia juga sering diminta untuk memasang keramik dari rumah ke rumah serta memperbaiki plafon yang rusak. Setahun sibuk menjadi kuli, Nazir termotivasi untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Terakhir, ia bekerja membangun ruang kelas di Pesantren Al-Mukminum, di Jalan Kijang Mati.
Ternyata menjadi kuli bukan pilihan hidup Nazir. Ia ingin mengubah masa depan. Saat itu barulah ia teringat untuk kuliah dan membangkitkan semangat belajarnya. Tahun 1992, Nazir mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Susqa Pekanbaru (sekarang UIN Suska Riau). Ia lulus di Fakultas Ushluddin Jurusan Dakwah.
Kesenangannya mendalami ilmu sosial menjadi alasan mengapa ia memilih jurusan itu. “Kalau di Jurusan Dakwah tidak banyak mengkaji kitab kuning,” katanya. Setahun kuliah, Nazir tidak begitu aktif di organisasi kampus. Tahun kedua, barulah ia aktif di Senat Mahasiswa Institut (sekarang namanya BEM). Jabatannya sebagai sekretaris.
Selama aktif di senat, banyak pengalaman berharga yang didapatnya. Nazir sering ikut pelatihan ke luar kota. Tahun 1997, ia dan kawan-kawan adakan studi banding Senat Mahasiswa Institut se-Sumatera ke Aceh dan Malaysia.
Bergelut di satu organisasi belum membuat ia puas. Nazir masih ingin mencicipi pengalaman di organisasi lain. Ia sempat bergabung di Sanggar Latah Tuah, Qasimiyah, dan Mapala. Mendaki gunung memang menjadi aktifitas yang menantang dan ditunggu para anggota Mapala. Namun sayang, ia tak sempat ikut naik gunung bersama kawan-kawan, karena kesibukannya di senat.
Menjadi aktifis merupakan suatu kebanggan bagi Nazir. Selain bisa melanglang buana kemana-mana, ia pun bisa kenal dan dekat dengan siapa saja. Istilah Nazir, dengan menjadi aktifis, menambah panjang umur kita di kampus. Jadi bisa datang lagi ke kampus, setidaknya ada dosen dan teman-teman yang ingat dengan kita.
Nazir sosok yang mandiri. Meski disibukkan dengan aktifitas belajar dan organisasi, tak jarang Nazir dan kawan-kawan nyambi jadi kuli bangunan. Aktifitas ini mereka lakoni untuk mengisi waktu luang. “Upahnya kita makan sama-sama.”
Rasa kebersamaan dengan kawan-kawan memberi kesan tersendiri bagi Nazir. Pengalaman menarik saat itu, usai belajar Bahasa Arab dengan Nazir Karim, ia dan kawan-kawan mendapati mobil salah satu dosen IAIN, Nazir Karim, terjebak di parit kecil. “Kami pun mengangkatnya ramai-ramai,” kenangnya.
Satu hal tak terlewatkan. Masa muda tidak dilalui Nazir begitu saja. Lengkap sudah rasanya sebagai mahasiswa. Tidak hanya berkutat di kuliah dan organisasi, Nazir juga punya kenangan dengan tambatan hati. “Jadi kalau pulang kuliah itu, biasanya jalan kaki dengan pasangan masing-masing,” ujarnya dengan senyum mengembang.

Suka duka di Gagasan
Bakat menulis sudah tertanam sejak Nazir masih duduk di bangku SMP. Ia senang menulis beragam surat, bahkan surat cinta sekalipun. Tidak hanya itu, saat kuliah memasuki semester empat, sudah terpikir olehnya menulis skripsi.
Guna menggali potensi menulis, ia bergabung di Gagasan. Di sinilah ia mulai mengembangkan kemampuan menulisnya. Pengalamannya menulis semakin bertambah, tatkala ia jadi wartawan lapangan hingga menjabat sebagai pimpinan umum di Gagasan.
Kenangan tak terlupakan bagi Nazir, untuk kali pertama ia menginjakkan kaki di tanah Jawa. Saat itu, ia mengikuti pelatihan jurnalistik mahasiswa tingkat lanjut di IAIN Sunan Ampel, Surabaya mewakili Gagasan. Tak kalah berkesan, di sana ia sempat menjadi reporter sehari di Harian Jawa Pos (induk Riau Pos). “Ya walaupun cuma satu hari, itu tak terlupakan bagi saya.”
Tradisi kebersamaan di Gagasan sempat dirasakannya. 24 jam menjalani aktifitas saban hari, dilakoni bersama kawan-kawan. Semua demi kemajuan Gagasan. Canda tawa selalu mewarnai keseharian mereka. Bersenda gurau dengan teman di Gagasan banyak mendatangkan ide-ide kreatif. Menurutnya, sebagai mahasiswa, fungsi kontrol di masyarakat menimbulkan jiwa kritis. Bagi Nazir, menjadi aktifis itu: “Rasanya membuat kita hidup selamanya.”
Nazir bercerita semasa di Gagasan, ia dan kawan-kawan sempat merasakan suasana sulit. Saat itu permohonan mereka untuk membuat sekretariatan sendiri belum terkabul. Akhirnya mereka membobol salah satu dinding ruangan Senat Mahasiswa Institut untuk dijadikan sekretariat Gagasan, tanpa sepengetahuan pihak rektorat.
“Kita masih satu ruangan dengan senat waktu itu. Ruangan Gagasan sempit, terpaksa kita bobol. Besoknya baru kita lapor rektorat untuk minta semen. Awalnya orang rektorat sempat marah, tapi mau gimana lagi, sudah terlanjur, akhirnya mereka beri kami semen dan pasir,” kenangnya.
Nazir dan kedua rekannya, Ilzam Fauzi dan Abdi Al-Matsur, terus berupaya memperjuangkan Gagasan tetap eksis. Suatu ketika, Tarmizi Taher, Menteri Agama saat itu berkunjung ke kampus. Kesempatan itu tidak mereka sia-siakan. Menag pun diminta bantuannya untuk melengkapi fasilitas Gagasan.
“Usai beliau memberikan materi dalam acara seminar, saya kejar dengan Ilzam dan Abdi. Permintaan kami dicatat oleh sekretarisnya,” kata Nazir. Usaha ini membuahkan hasil. Sebulan kemudian, Gagasan mendapatkan bantuan satu unit komputer dan perlengkapan lainnya dari Menteri Agama.

Memulai karir dari Gagasan
Di akhir perkuliahan, ia menulis skripsi tentang jurnalistik. Meski para dosen waktu itu masih awam pengetahuannya tentang jurnalistik. Tahun 1997, beberapa bulan jelang wisuda. Berbekal pengalaman dari Gagasan, Nazir mencoba mengajukan lamaran di Harian Riau Pos, dengan membawa surat keterangan lulus dari IAIN. Nasib baik menyertainya, ia diterima sebagai wartawan Riau Pos biro daerah Perawang dan Siak. Barulah setelah itu, ia wisuda.

Tahun 1999, ia dipindah tugaskan ke Pekanbaru. Di Riau Pos, Nazir terus menunjukkan prestasi cemerlang. Tahun 2000, ia diangkat menjadi Asisten Redaktur Mingguan. Tak lama berselang, tahun 2001 Nazir diangkat menjadi Redaktur Rubrik Ekonomi dan Bisnis di Riau Pos. Meski tidak begitu paham, rasa ingin tahunya tidak surut. Keberhasilannya menangani rubrik itu, membuat ia dipercaya menjadi Redaktur halaman satu. “Kerja saya semakin berat, karena di halaman inilah daya tarik pembaca,” katanya.
Setahun berproses, karirnya berlanjut menjadi Redaktur Pelaksana rubrik Nasional, tahun 2002 hingga 2006. Kemudian ia kembali dipercaya menjadi Redaktur Pelaksana di Rubrik Metropolis. Sibuk sebagai redaktur, tidak menghambat Nazir untuk terus berprestasi di bidang tulis menulis. Ia pernah mendapat juara pertama penghargaan Ali Kelana (penghargaan tertinggi untuk wartawan Riau).
Tidak cukup sampai di situ, pada kesempatan lain, Nazir mengikuti lomba menulis dengan tema telekomunikasi. Lagi-lagi ia keluar sebagai pemenang. Memang prestasi membanggakan, dua kali ia meraih juara satu dan satu kali meraih juara dua. Prestasi menulisnya mengantarkan bapak tiga orang anak ini menjalankan niat sucinya, yakni berangkat umrah.

“Pulang dari situ, saya tulis perjalanan saya saat berangkat umrah. Alhamdulillah saya diundang oleh Muhibah Travel untuk menunaikan Ibadah Haji,” kenangnya.
Pada tahun 2007, Nazir dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Pekanbaru Pos (Riau Pos Grup). Disela kesibukannya sebagai seorang jurnalis, tidak menghambat Nazir dalam menuntut ilmu. Tahun 2008, Nazir melanjutkan pendidikan strata dua (S2) di Universitas Riau. “Alhamdulillah sudah lulus ujian tesisnya Sabtu kemarin,” katanya.
Tahun 2009, ia dipercaya menjadi Wakil Pemimpin Redaksi di Harian Riau Pos. “Semua itu adalah rahmat dari Allah dan tak terlepas dari kebiasaan saya menulis. Itu semua saya dapatkan di Gagasan,” tuturnya di akhir cerita. **Arie

*(Tulisan ini sudah pernah dinaikkan di tabloid Gagasan edisi 74 Juni 2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.