Mewaspadai Tabiat Tekor Time

Oleh Alek Saputra

Waktu adalah sumber daya dari Allah yang sangat berharga dan tidak tergantikan. Berulang kali Allah mengingatkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan tentang pentingnya waktu, ketinggian nilainya, dan juga pengaruhnya yang besar terhadap manusia. Bahkan Allah telah bersumpah dengan waktu dalam dan ayat-ayat-Nya yang mulia dalam konteks yang berbeda-beda. Demi malam, demi siang, demi waktu subuh, dan demi waktu dhuha misalnya.

Karenanya, hanya orang-orang hebat dan mendapatkan taufik dari Allah, adalah orang yang mampu mengetahui pentingnya waktu lalu memanfaatkanya semaksimal mungkin. Hilangnya waktu merupakan kerugian yang sangat besar karena tidak mungkin akan terulang. Namun, betapa banyak peringatan dari ayat maupun hadis, banyak manusia yang lalai dan tertipu dalam memanfaatkan waktu.

Kelalaian manusia terlihat jelas pada zaman teknologi sekarang ini. Banyak orang mengabiskan waktunya berselancar di dunia maya, berenang dalam dunia tanpa batas, posting status pun tidak ketinggalan meskipun dalam keadaan ibadah, ada juga yang sibuk dengan siaran televisi,  aktivitas demikian sering kali membuat waktu kita berlalu begitu saja. Seakan sudah menjadi tabiat di tengah arus modernisasi, hari-hari tanpa terasa lagi dilalui. Sehingga malam berlalu, subuh menjelang dan siang pun datang, kita berada pada kondisi tekor time.  Suatu keadaan baik sadar maupun tidak sadar manusia merugi dan tekor. Lantas,  inikah guna waktu yang diberikan Allah untuk manusia?

Jatah yang Tidak Gratis
Kata “jatah” sering diartikan sebagai sesuatu pemberian yang gratis dari seseorang, tetapi tidak dengan jatah waktu. Karena waktu bukanlah barang dan komoditi, seperti jatah rumah, jatah beras, jatah kebun, jatah tanah, dan lain sebagainya. Sehingga kalau sudah ada kata “jatah” kita sering terjerembab pada pemaknaan sepele, kurang serius, tiada pertanggungjawaban yang berarti. Akhirnya jatah pemberian jarang bernilai guna dan yang memberi merasa kecewa.

Allah memberikan jatah waktu bagi manusia 24 jam sehari semalam. Manusia dituntun untuk menggunakan waktu yang diberikan-Nya bernilai guna, bermanfaat. Semua aktivitas yang kita lakukan harus hilir pada suatu nilai ibadah, nilai yang berfaedah. Karena sesungguhnya manusia diciptakan hanya untuk taat beribadah dan menyembah. baik ibadah mahdah maupun ibadah ghairumahdah. Seperti ayat al-Qur’an yang berbicara tentang penciptaan jin dan manusia, “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56).

Ibnu Abbas berkata: Semua penyebutan ibadah dalam al-Quran maknanya adalah tauhid (Tafsir al-Qurthuby (18/193). Artinya, jika dalam al-Quran terdapat perintah untuk beribadah kepada Allah, maksudnya adalah tauhidkan Allah atau sembahlah (beribadahlah) hanya kepada Allah. Karena itu, makna ayat ini adalah: Tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali agar mereka beribadah hanya kepadaKu.

Ibadah adalah penghambaan. Segala macam perbuatan atau ucapan yang dicintai dan diridhai oleh Allah adalah ibadah. Termasuk juga amalan cinta kepada Allah, tunduk; menghinakan dan merendahkan diri, takut, berharap, tawakkal, semuanya adalah ibadah. Maka waktu yang diberikan Allah kepada manusia, bukan jatah yang bebas nilai dari prilaku dan aktivitas yang tidak bermanfaat dan melaikan. Apalagi membahayakan bagi kesehatan, jiwa, akal dan keturunan.

Anehnya banyak orang yang  mengatakan, “Aku tidak ada waktu  lagi”, seakan-akan mereka di dalam sebuah kesibukan yang sangat bermanfaat tanpa sedetikpun tersisa untuk aktivitas lainnya,  akan tetapi kenyataannya ternyata masih banyak waktu kosong mereka.

Di lain pihak, banyak pula yang ingin “Membunuh waktu”  karena waktu mereka yang sangat menggalaukan, mau dibawak kemana waktu tersebut. Dikondisi seperti ini manusia sering tergelincir pada hal-hal yang tidak bermanfaat dan lalai. Dalam hadis, rasulullah mengingatkan manusia, ”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas).

Manusia Tidak Mau Rugi
Ketika ditanya oleh seseorang kepadamu, apakah kamu mau rugi ? jawabnya, tentu tidak mau rugi,  manusia yang mana yang mau rugi. Tetapi kenyataannya manusia sering merugikan dan dirugikan, dan yang lebih bahaya,  sudalah dalam keadaan rugi, merugikan pula.  Oleh karenanya, Allah SWT meningatkan kita manusia dalam firman-Nya “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran”. (QS. al-‘Ashr: 1-3)

Surah pendek yang sering kita baca ini, dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsirnya bahwa, jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak di isi maka kita akan merugi, bahkan kalaupun diisi tetapi dengan hal-hal yang negatif maka manusia diliputi oleh kerugian. Ayat tersebut memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. (Jilid 15/ 496-500).

Apabila manusia tidak mau merugi dengan waktu yang diberikan Allah, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, waktu adalah modal utama manusia, apabila waktu tidak diisi dengan kegiatan yang positif, maka ia akan berlalu begitu saja, dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan diperoleh lebih dari itu di hari esok, tetapi waktu yang berlalu tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok.

Kedua, waktu bersifat netral. Tidak ada waktu sial atau waktu mujur. Yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang dan inilah yang berperanan dalam baik atau buruknya kesudahan satu pekerjaan. Seperti aling berwasiat menyangkut kebenaran mengandung makna saling ajar mengajar. Karena itu, surah ini tidak saja menekankan pentingnya belajar tapi juga mengajar. Ini juga berarti tidak seorang pun yang mengetahui segala sesuatu, kendati dia kaya dan kuat. Sebaliknya yang miskin, dan berstatus sosial rendah, bisa lebih mengetahui sekian banyak hal daripada mereka yang kuat dan dinilai pandai.

Ketiga, manusia akan tetap berada dalam wadah kerugian kecuali setelah melaksanakan empat hal yang disebut di atas. Seseorang belum terbebaskan dari kerugian bila sekadar beriman, beramal saleh, dan mengetahui hak atau kebenaran untuk dirinya, tetapi dia berkewajiban juga untuk mengajarkannya kepada orang lain.

Keempat, yang mengerjakan atau mengajak kepada kebenaran berpotensi mengalami gangguan atau kejenuhan, karena itu, diperlukan kesabaran dan ketabahan agar aktivitasnya tidak memudar.

Dalam Gurindam Raja Ali Haji juga mengingatkan kita tentang perbuatan yang merugi, “Tentang budi pekerti, yaitu menahan kata-kata yang tidak perlu dan makan seperlunya.” Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. “Mata harus dipergunakan sebaik-baiknya jangan sampai digunakan untuk melihat apa yang seharusnya tidak dilihat.” Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping. “Telinga harus dijauhkan dari segala macam bentuk gunjingan dan hasutan.” Apabila terpelihara lidah, nescaya dapat daripadanya faedah. “Orang yang menjaga omongannya akan mendapat manfaat.” Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan.“Jangan mengambil barang yang bukan menjadi hak kita.” Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi’il yang tiada senonoh.“Nafsu harus dijaga agar tidak melakukan hal yang dilarang.”  Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat. “Hidup harus dijalani dengan penuh semangat.” Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjalan yang membawa rugi. “Jangan merugikan diri dengan melakukan hal-hal yang mubadzir dan maksiat. Melangkahlah dijalan yang benar dan diridhoi.” (Pasal ke-3).

Karena  tidaklah umur manusia itu kecuali tiga hari saja; hari yang telah berlalu dengan segala yang ada di dalamnya, berlalu kenikmatannya dan masih terdapat pertanggungjawabannya, hari dinanti yang tiada lain ia ada dalam angan-angan, dan hari yang anda berada di dalamnya sedang telah ada yang berteriak memanggilmu untuk mati, karena itu bersabarlah di dalamnya dari ajakan hawa nafsu, sebab jika kesabaran telah sampai pada yang dicintainya, semua menjadi mudah. (At-Tabshirah:2/102).

Terakhir, marilah kita hargai waktu yang masih tersisa ini sebelum nafas ada ditenggorokan. Kita hitung amalan apa yang sudah kita lakukan dalam mengisi waktu kita. Sudahkah kita sholat tepat waktu,sudahkah kita puasa, sudahkah kita menyisihkan sebagian harta kita untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya,  sudahkah kita membaca Al Qur’an, sudahkah kita berzikir, sudahkah kita membantu sesama kita, sudahkah kita tersenyum hari ini dan sudahkah kita melakukan amalan wajib dan sunah lainnya? Kita isi waktu kita dengan amalan-amalan shaleh yang telah diajarkan baginda Rasulullah SAW agar saat jatah waktu yang diberikan oleh Allah swt diminta kembali olehNya kita tidak menjadi manusia yang menyesal dan merugi karena telah menyia-nyiakan waktu. Aamiin.

Penulis adalah mahasisawa Program Magister Ekonomi Syariah UIN Suska Riau

www.gagasan-online.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.