Lomba dan Kerdilnya Pencapaian

Oleh Muhammad Ihsan Yurin


Saya pernah ditawari seorang teman, lebih tepatnya adik kelas semasa SMK untuk mengikuti sebuah lomba menulis. Ya, lomba. Jelas dengan standar tema yang telah ditentukan. Dan tak lupa iming-iming hadiah berupa uang.

Ini abad 21. Tahun 2016. Manusia kolot mana yang tak tertarik dengan lembar berangka itu. Setidaknya hanya itulah ‘gol’ antusiasme yang saya lihat dari sebuah perlombaan. Tidak lebih. Walaupun banyak pledoi alim nan klise yang bisa peserta lomba ‘tembakkan’ demi meluluhkan pandangan saya ini: saya hanya mencari pengalaman, saya cuma iseng, saya ini dan itu.

Tentu saya tidak mendiskreditkan lomba menulis. Ini pandangan saya secara umum untuk semua jenis lomba. Dan saya tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain, kecuali yang berhasil membuat saya peduli.

Saya berfikir kembali ke masa lalu untuk memecahkan pandangan ini.

Ketika sekolah pada tingkatan SD, SMP, ataupun SMA, sebenarnya apa yang telah guru tanamkan ke benak muridnya? Sudahlah, jangan bohong, kita semua pasti  pernah menyantap dengan lahap doktrin: Sekolahlah yang rajin, agar kelak kau ‘sukses’ dan mendapat pekerjaan yang baik. Pertanyaannya, orang tolol mana yang berfikir bahwa menjadi pemulung, tukang parkir, dan yang seletingannya adalah suatu kesuksesan? Jadi, apa kesuksesan menurut bapak/ibu/guru kita katakan dulu? Uang?

Ada pameo lama yang selalu kita dengar bahwa harta (uang) dapat membutakan hidup setelah tahta dan wanita. Hakulyakin seluruh anggota DPR mengimani pameo ini. Tapi, sebagian besar orang beranggapan yang ‘membutakan’ adalah sesuatu yang dalam kenyataannya berskala besar.

Seseorang yang dengan tega menyelundupkan dana 3 milyar, ini adalah kebutaan. Lalu, teman yang dengan tega menikung urusan pembelian gorengan, ini sama sekali bukan kebutaan. Haha, sudahlah jujur saja!

Pada dasarnya, noda hitam, dengan ukuran diameter 1 mm atau pun 20 km tetaplah sama. Tetaplah sebuah noda hitam. Itulah yang tidak kita sadari telah mendarah daging. Bahkan mungkin dari gurunya guru yang gurunya guru kita. Atau entah sejak kapan.

Memang, tidak ada yang salah dari sebuah impian mencapai kesuksesan. Tapi menjadikan harta atau uang sebagai kolega kesuksesan, ini yang harus diluruskan.

Cobalah berfikir dengan hati yang bersih dan otak yang dingin. Kira-kira, apa yang salah sehingga para polisi, guru, DPR, dan banyak profesi lainnya membelot dari tugas utamanya? Contoh kecilnya: polisi dengan uang damainya, guru dengan nepotismenya, DPR dengan korupsinya dan lainnya. Tidakkah kita berfikir sampai sejauh ini? Ekonomi? Haah, tentu saja. Tapi ada yang jauh lebih fundamental dari pada hanya persoalan perut.

TUJUAN!

Ya, doktrin yang kita terima semenjak kecil, entah itu dari guru, teman, bahkan orang tua, selalu mengatasnamakan kesuksesan dan uang sebagai tujuan hidup–setidaknya mungkin 20 persen lebih rendah daripada akhirat–telah menjadikan kita benar-benar tak memiliki fokus lain.

Barangkali hanya segelintir polisi yang benar-benar bertujuan membantu masyarakat, membantu negaranya. Mungkin hanya sedikit guru yang benar-benar ingin menciptakan generasi yang cerdas. Dan saya yakin hanya sebagian kecil anggota DPR yang benar-benar mementingkan rakyat atas dirinya sendiri.

Lalu, bagaimana kita bisa serta merta menyalahkan ‘orang atas’ yang korupsi sedangkan kita semua berpemikiran dan bertujuan sama dengan mereka. Yakin ada orang yang benar-benar berbeda tujuan dengan kita? Ada. Hanya seperempat cuil, bahkan lebih sedikit dari itu.

Dan jika dikembalikan ke permasalahan lomba, terutama lomba menulis, yang notabene membawa pengaruh besar untuk perubahan  bangsa dan generasi selanjutnya. Apakah hanya hadiah berupa uang yang kita harapkan? Dan setelah itu? Tulisan kita tercecer di tempat sampah tak ada yang membaca? Ambooyy, miris sekali.

Sekali lagi saya katakan, tidaklah salah memiliki hasrat untuk menang. Tapi menjadikan hadiah sebagai tujuan utama, ini yang menggelisahkan.

Seniman selalu berkata bahwa seni tak bisa dibeli dengan uang. Ya, itu jelas. Kepuasan dan pesan dalam seni itulah tujuan utamanya. Perubahan setelah menelaah sebuah karyalah yang diimpikan seniman. Apakah dari pemikiran maupun tindakan. Ini juga berlaku sama untuk semua profesi.

Semestinya kebahagiaan, ketenangan, membawa perubahan, dan masih banyak tujuan mulia lainnya yang harus mengisi kehidupan. Tidak semata-mata sukses berlandaskan uang.

Untuk keterlanjuran yang telah terjadi di hari ini, biarkanlah. Bertindaklah semampu dan sebisa mungkin untuk perubahan. Lakukan kebaikan apa pun dan di mana pun. Bagaimana mungkin anda dengan beringas berteriak hukum berat para koruptor sedangkan anda tidur pada jam kerja? Bagaimana mungkin anda mencaci para perampok sedangkan anda dengan tanpa-bersalah-nya menerobos lampu merah? Bagaimana mungkin anda dengan gampangnya menyalahkan pemerintah atas bencana-bencana yang terjadi sedangkan anda dengan sebegitu cueknya membuang botol air mineral ke jalan raya? Dan masih banyak bagaimana-bagaimana lain yang seharusnya menjadi pisau pengikis keburukan kita.

Jadi, masih beranggapan pemulung itu bukan sebuah kesuksesan? Yang benar saja.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi
Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.