Katanya

Oleh Muhammad Ihsan Yurin

Saya mahasiswa baru di sini. Masih sangat dini untuk membuat sebuah tulisan argumentatif tentang kebobrokan kehebatan kampus tempat saya bernaung. Apalagi soal birokrasi kampus berlabel islam plus syariahnya ini, mestinya tidak ada kejelekan yang dapat mahasiswa skeptis seperti saya temukan. Semestinya. Tapi toh, ah…. Sudahlah. Lagipula, di tulisan kali ini saya tidak berniat menganalisa terlalu jauh. Terlalu jauh pula rasanya jangkauan mahasiswa semester satu seperti saya untuk melangkah apabila harus mencari-cari hitamnya kampus putih ini. Padahal hitam-hitam sederhananya saja sudah banyak dan tidak perlu menambah kerutan kening memikirkannya. Eh!

Untuk seorang noob seperti saya, barangkali beberapa kekecewaan ini bisa sedikit membantu otoritas dan masyarakat kampus berdecak kagum untuk berfikir dan mawas diri serta selalu mengintrospeksi kesalahan yang terjadi.

Boobs Everywhere

Ehem, saya minta ngapuro lho, ya. Saya bukan mengenyek ciptaan Tuhan, bukan. Saya hakulyakin semua mbak-mbak solehah kampus pasti punya boobs. Dan saya berharap kita semua duduk pada singgasana masing-masing. Tidak perlulah operasi sana sini demi mencaplok singgasana gender lain. Akan tetapi Mbak, iya kamu Mbak, kamu, apa tra bisa itu ko pu boobs sedikit ditutup? Oh maaf, tra sedikit, tapi banyak sudah! Masih tanya kenapa? Oalah, opo mesti tak gawe tutorial hijab syar’i agar dirimu mengerti mana yang hijab itu? Lha, kamu itu mahasiswi UIN lho, Mbak. Masa iya ndak pernah baca ayat-ayat Quran soal hijab dan aurat? Masa ndak ngerti? IQ saya saja yang entah hanya berapa bisa dengan mudah mencerna mana aurat yang mesti benar-benar ditutup dan tertutup. Lha kamu itu lho, mahasiswi borjuis, hedonis pula, full gawai selalu, internet wis koyo bojo, masa ndak paham masalah sepele gitu aja?

Saya juga memahami proses yang barangkali sedang mbak-mbak sekalian lakukan. Memang, berubah baik itu tidak semudah mengeringkan jemuran kolor yang basah kena hujan lalu disetrika biar ndilalah kering. Semua butuh tahap. Butuh pengganti dan motivasi agar lekas move on. Tapi Mbak, mbok ya jangan kelewatan. Apa tubuh indah nan molek mu itu harus selalu kamu pamerkan kepada kami? Secara idealis, kami ini, lelaki penuh gairah ini takut dosa lho, Mbak. Ya, walaupun kenyataannya takut “kelewatan” juga. Atau minimal, kalau belum sanggup di setiap waktu, ya waktu kuliah saja. Apa Mbak tega mengotori niat suci kami mencari ilmu agar Mbak tidak malu punya calon suami yang bodo hanya dengan pamer boobs sampai kami bergunjing sembari meneteskan liur? Endak, tho? Lha makanya! Sumpah Mbak, saya yang lelaki ini sangat menghargai dan menghormati wanita-wanita berhijab sesuai aturan. Mereka begitu elegan dan terhormat. Itu menurut saya lho ya, Mbak. Kalau kamu tidak percaya, ya sudahlah. Tapi mohon, jangan kotori kampus yang syar’i ini dengan pemandangan haram nan indah itu. Terserahlah kalau di luar sana. Toh juga tidak ada yang tau kalian anak kampus mana.

Everywhere is Tong Sampah

Saya rasanya capek nulis materi ini. Masa setiap tulisan selalu nyinggung sampah. Tapi mau bagaimana lagi, memang hal sepele ini yang benar-benar urgen harus dibasmi dari kelalaian anak bangsa. Sesuatu yang dianggap tidak berdampak besar, sesuatu yang dianggap tidak begitu penting.

Sedikit cerita, kemarin, sewaktu Capresma kampanye terakhir (Karena kali terakhir saya melihatnya), saya masih bingung menentukan pilihan. Saya ini anak baru yang polos. Jangankan politik kampus, kantin tempat teman-teman nongkrong saja saya tidak tau, gimana lagi dengan menentukan pilihan? Capresma pula. Nah, akhirnya pilihan saya tentukan dengan sedikit pertimbangan, yaitu sampah. Saya memilih calon yang kondisi lingkungan kampanyenya paling bersih dan aman dari sampah yang notabene mereka akibatkan. Kenapa saya tentukan pilihan hanya karena sampah? Tidak tau. Tapi sesuatu yang saya pengang adalah apa yang Leo Tolstoy katakan: Bahwa banyak orang yang ingin mengubah dunia, tapi lupa mengubah dirinya sendiri. Saya yakin, pemungutan sampah itu juga bagian dari kampanye, tapi menurut Anda lebih parah mana dari yang tidak mengagendakan kebersihan dalam kampanyenya sama sekali?

Sampah punya dampak jauh lebih besar dari yang Anda bayangkan. Secara psikologis, semena-mena dalam membuang sampah akan mengakibatkan terpatrinya sikap ceroboh dan tidak disiplin; tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Apalagi untuk seorang aktivis yang mengaku berhaluan kiri, kok rasanya tidak cocok sekali dengan perbuatan ini. Begitu juga dengan mahasiswa ahli ilmu yang taat beribadah, sepertinya kontradiktif sekali gitu, lho.

Ini baru akibat ringan secara psikologis. Belum lagi kita bahas dampak dan akibatnya pada alam, lingkungan, serta sekor politik lainnya. Anda fikir banjir dan polusi lingkungan itu penyebabnya apa? Anda kira berapa kerugian masyarakat karena sampah tercecer sembarangan setiap harinya? Terus apa Anda tau sampah bisa jadi legitimasi seorang fasis menggusur perumahan penduduk? Belum lagi ini, itu, dan banyak lagi.

Darurat Akhlak Kamar Belakang

Penyebab tidak disiplinnya seseorang tentu saja tidak melulu karena sampah. Nah, ini salah satu contohnya. Saya kok sampai sekarang masih bingung, Anda itu mahasiswa bermental SD atau anak SD yang pura-pura jadi mahasiswa? Seorang mahasiswa bisa dengan santainya njamban tidak pakai siram? Subhanallah, saya tidak tau harus geleng kepala berapa kali untuk bisa mengerti sebebal apa mental manusia-manusia ini. Ini benar-benar warbiasyaahh, benar-benar menakjubkan. Bagaimana tidak? Seorang mahasiswa, terpandang intelektual, punya wawasan berlimpah, belum lagi almater organisasi bertumpuk, buang air seni tidak disiram? Oalah!

Sholat Melarat Anak Syariat

Lho, jangan mesem gitu wajahnya. Saya ndak lagi ngomongin fakultas tetangga, tapi kita semua, mahasiswa kampus bersyariat, tapi saat azan berkumandang masih saja ada yang belajar. Ya, saya memang ada mata kuliah yang bentrok dengan waktu sholat. Baru fakultas saya, jurusan saya, entah bagaimana dengan fakultas lain, jurusan lain. Rasa-rasanya label islam itu kok cuma seperti alat promosi yang kebenarannya masih dipertanyakan kalau kuliah saja masih mengenyampingkan waktu sholat. Memang, kuliahnya tidak sampai jam sholat berakhir, tapi bukankah sholat di awal waktu sangat dianjurkan? Bukankah Rasulullah memerintahkan agar meninggalkan aktivitas ketika azan telah berkumandang? Lha, ini malah jadwalnya memang papasan sama waktu sholat. Ini gimana ini?

***

Begitulah kampus kita, tidak hanya di sini, di luar sana bahkan jauh lebih berbahaya. Ini baru seupil problematika yang harusnya segera bisa dibasmi. Belum lagi soal helm, kendaraan tidak sesuai standar, korupsi, nepoteisme, sogok menyogok, minta disogok, dan semacamnya. Putih itu hanya pakaian semata, sedangkan jiwa tetap saja tak berwarna. Mendaku islami, menaungi kampus islami, bersistem islami, tapi kalau kontradiktif dengan kelakuan aktualnya, opo islam iki sing nggawe Mbahmu?

Begitulah teman-teman, semoga bermanfaat dan ahhh! Mainstream sekali harus pakai pesan-pesan terakhir! Gunakan akal intelekmu itu untuk mencerna. Anda bukan lagi bocah singletan yang harus dicekoki pemahaman sambil sedikit-sedikit diimingi uang jajan. Berfikir!

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi 
Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.