Minimarket dan Nasib Pedagang Kecil

Oleh: Alek Saputra

Di tengah kondisi ekonomi berpenyakit belakangan ini, masyarakat Riau yang sebagian besar petani, menjerit dengan rendahnya harga karet dan sawit. Ironi memang, jika 1 Kg beras setara dengan 2,5 kg karet dan 1 kg cabe setara dengan 12 kg karet. Suatu perbandingan yang mengecewakan, tetapi begitulah gambaran umum tentang nasib petani karet hari ini. Karet yang sudah bertahun-tahun tidak “berharga”, sementara harga kebutuhan pokok terus melambung. Fenomena tersebut salah satu virus kemiskinan yang dalam ilmu matematika apa pun, tidak akan ditemukan kata “untung”, melainkan besar pasak dari pada tiang.

Kondisi mengkhawatirkan tersebut, diperparah dengan berdirinya tempat perbelanjaan modern yang akrab dengan sebutan minimarket, sekarang membuat gelisah para pedagang-pedagang kecil di perkampungan. Kondisi ini penulis ketahui ketika melakukan perjalanan di Kuantan singingi, terpampang tulisan lebel ”minimarket” tidak ubahnya kita sedang berjalan di kota Pekanbaru, yang setiap sudut menghiasinya. Lantas bagaimana dengan kota-kota lainnya di Riau? tidak habis pikir jika hal tersebut juga sama,  maka kita tertuju pada nasib pedagang-pedagang kecil sekitarnya, yang telah bertungkus lumus di pasar-pasar kampung.

Pasar merupakan tempat berlangsungnya transaksi barang antara pembeli dan penjual. Pasar itu sendiri terdiri dari dua yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional adalah tempat berjual beli dimana orang yang berbelanja masih bisa melakukan tawar menawar, salah satu contoh dari pasar tradisional yang sering terlihat di pinggir jalan atau di permukiman  penduduk yang biasa disebut pedagang kelontong. Sedangkan pasar modern tempat dimana orang dapat membeli barang-barang yang diinginkan tapi di tempat ini tidak dapat lagi melakukan tawar-menawar seperti pasar tradisional karena harganya sudah terpatok. Salah satu contoh dari pasar modern ini adalah minimarket.

Seharusnya, minimarket belum cocok di daerah perkampungan sebagaimana daerah perkotaan. Apabila kondisi ini terus berlanjut maka mengakibatkan ketimpangan akibat persaingan tidak sempurna.

Hilangnya Prinsip Keadilan
 
Pemerintah seakan tak bersuara, padahal mereka tahu kondisi masyarakat yang serba kesulitan, baik sebagai petani maupun pedagang. Padahal dalam cita-cita bangsa ini sudah jelas keadilan sosial harus ditegakkan, termasuk di dalamnya keadilan ekonomi. Pada poin tiga misi kabupaten Kuantan singingi juga tertuang “Mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah yang berkualitas dan berimbang serta mendorong berbagai lapangan usaha/usaha baru yang memanfaatkan sumber daya   manusia lokal/daerah”. Misi tersebut pantas untuk dipertanyakan.

Pendirian minimarket yang sekarang beroperasi di berbagai kecamatan di Kuantan Singingi, nampaknya ada kongkalikong antara pemerintah dan investor. Bagimana tidak, dari bentuk bangunannya mirip dengan pasar-pasar modern di Pekanbaru. Semua barang ada di sana, konon harga jual relatif murah dibandingkan dengan pedagang-pedagang kecil. Dengan demikian masyarakat secara tidak langsung berduyun-duyun mengantarkan uangnya ke minimarket, sedangkan pedagang kecil di sekitarnya sudah mulai gigit jari atas hilangan omset sebagaimana biasanya.

Kita sering mendengar istilah hukum rimba, “siapa yang kuat dia yang menang”. Kondisi lalu lintas perdagangan sekarang ini juga demikian, siapa yang memiliki modal besar, maka ialah penguasa dan raja pasar, dalam istilah Prof. Akhmad Mujahidin disebut dengan sistem kapitalis. Suatu sistem ekonomi yang menjembatani orang-orang berduit menjadi konglomerat dan menguasai pasar  bagi segelintir orang yang bermodal. Cara yang demikian tidaklah sehat dalam dunia perdagangan, mengandung unsur monopili pasar. Monopoli dalam dunia bisnis adalah kejahatan, dan pemerintah wajib untuk menertibkannya.

Berdirinya minimarket di suatu daerah sudah barang tentu mendapatkan izin dari pemerintah daerah tersebut. Sebelum izin dikeluarkan oleh pihak pemerintah terkait, semestinya harus memenuhi prosedur yang berlaku. Dalam pendirian toko modern dapat berbentuk suatu badan usaha badan hukum atau badan usaha bukan badan hukum.

Adapun, karakteristik badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan hukum tersebut diataranya, Izin Usaha Toko Modern (IUTM). Berdasarkan Pasal 12 dan 13 Perpres 112/2007 jo Pasal 12 Permendag 53/2011 seperti Copy Surat Izin Prinsip dari kepala daerah setempat. Hasil Analisa Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat serta rekomendasi dari instansi yang berwenang, Copy Surat Izin Lokasi dari Badan Pertanahan Nasional, Copy Surat Izin Undang-Undang Gangguan (HO), Copy Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Copy Akta pendirian perusahaan dan pengesahannya, Rencana Kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha kecil, Surat Pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang berlaku, Studi Kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan, terutama sosial budaya dan dampaknya bagi pelaku perdagangan eceran setempat.

Berbisnis Dalam Sistem Syariah

Jual beli (muamalah)  adalah suatu kegiatan yang dihalalkan Islam.  Secara tegas agama memacu umatnya untuk bergiat dalam usaha-usaha yang dapat meningkatkan ekonomi dan sosial. Peningkatan ekonomi dalam konsep Islam mengarahkan kepada kebaikan seluruh kepentingan bukan segelintir kepentingan. Silahkan kita berjualan atau membuka toko dan lain sebagainya, selagi tidak menutup kepentingan orang lain.

Karena pada prinsipnya manusia sama-sama mencari makan. Dalam Al Quran di tegaskan “ Dan Katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaan mu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan segala yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” ( QS. at-Taubah:105). Ini artinya, setiap manusia bebas berbisnis dibidang apapun tanpa melanggar dan mencelakakan bisnis orang lain di sekitarnya.

Ketika kebebasan dalam ativitas bisnis itu terjadi, sebetulnya tidak ada ruang gerak pemerintah untuk mengatur jalannya bisnis. Hanya saja, dewasa ini banyak penyimpangan terjadi baik dari segi produksi barang dan jasa, maupun penentuan harga yang dalam hal ini acap kali terjadi pendzaliman. Seperti halnya; penimbunan, hasr (pemboikotan) dimana distribusi hanya ada pada satu penjual, akhirnya menyebabkan kelangkaan barang pada penjual lainnya. Ini juga termasuk cara bisnis yang tidak sehat.

Dengan demikian pemerintah selaku pemegang kebijakan harus memperhatikan jalannya kegiatan ekonomi masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dirasa akan membahayakan segera ditindaklanjuti dan diperingatkan. Dinas terkait harus selektif dalam memberikan izin kepada setiap  pemilik usaha, baik individu ataupun berbentuk badan usaha. Upaya ini berdampak baik bagi siapa pun dalam menghindari praktek usaha yang tidak jujur, tidak adil, tidak transparan dan menghalalkan segala cara.  Semoga cita-cita masyarakat sejahtera segera terwujud di negeri ini. Aamiin ya Rabbal’alamin.

Penulis adalah mahasiswa program magister Ekonomi Syariah UIN Suska Riau

www.gagasan-online.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.