NASIB FILSAFAT DI PERGURUAN TINGGI: Terbelenggu oleh Kebutuhan Pasar dan Praktek Materialisme

Oleh : Alimuddin Hassan Palawa

gagasan-online.com – Filsafat, dalam tradisi studi-studi keislaman (Islamic Studies), sepertinya termasuk khazanah intelektual Islam klasik yang, jika dibanding dengan fiqh, teologi dan tasawuf, paling sedikit dipahami, tetapi anehnya, paling banyak disalahpahami, sekaligus paling kontroversial, demikian ungkapan Cak Nur [semoga Allah senantiasa merahmatinya] dalam karya agungnya, “Islam, Doktrin dan Peradaban”.

Ini disebabkan, setidaknya, karena pengertian terhadap filsafat masih sangat superfisial (cetek). Kenyataan ini, misalanya, terlihat adanya pemahaman bahwa filsafat dikonstatir, untuk sekadar contoh, sebagai disiplin ilmu yang dapat mengakabur keimanan dan memarjinalkan amal ritual religius seseorang. Dan pada gilirannya, filsafat tertuduh sebagai “sarana” yang menjadikan seseorang semakin dijauhkan dari Tuhan. Pada akhirnya, ditarik sebagai sebuah kesimpulan bahwa belajar filsafat hukumnya adalah haram.

Di tempat saya berhidmat sebagai tenaga pengajar, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau (dulu IAIN Susqa Pekanbaru), tentu saja tidak sampai menganut paham bahwa filsafat adalah haram. Buktinya, di awal-awal tahun (1995-1996) perhidmatan saya sebagai tenaga pengajar mata kuliah-mata kuliah filsafat masih ada. Akan tetapi, belakangan mata kuliah filsafat itu, seperti Logika/ Ilmu Mantiq (1997) , Filsafat Umum (1998) dan Filsafat Islam (2000) masing-masing telah “dilikuidasi” pada tahun-tahun tersebut. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, rasa-rasanya ironis kalau mata kuliah komponen filsafat yang sebelumnya ada, tetapi belakangan “dilekuidasi”.

Secara pribadi saya tidak tahu persis kenapa ketiga mata kuliah “berbau” filsafat yang notabena adalah mata kuliah yang saya ampuh itu dilikuidasi. Akan tetapi, yang pasti bahwa dewasa ini di tengah masyarakat sudah menyeruak persepsi, termasuk di antaranya kaum terpelajar, menurut Soerjanto Poespowardojo (1989: 91) bahwa “kenyataan” harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk lahiriah dan diukur secara kuantitatif.

Kepuasan akan terpenuhi apabila dihadapkan pada barang secara material. Kecendrungan semacam ini dalam skala tertentu wajar (sah-sah saja) dan dapat dibenarkan, karena manusia adalah makhluk jasmani, selain makhluk nafsani dan ruhani, sehingga harus pula dipenuhi kebutuhan dan sarana jasminiahnya.

Namun, persepsi tersebut menjadi tidak benar kalau benda yang dirumuskan sacara kuantitatif itu di lebih-lebihkan, sehingga timbul apresiasi yang dominan dan berlebihan. Dan akan lebih parah lagi, sekiranya kalau benda yang dirumuskan secara kuantitatif menjadi satu-satunya ukuran. Kalau ini yang terjadi, maka persepasinya adalah, misalnya bukan lagi “Coca-cola adalah baik”, tetapi “yang baik adalah Coca-cola”; bukanlah lagi “keluarga kecil adalah sejahtera”, tetapi “keluarga sejahtera adalah keluarga kecil”; Bukan lagi “si Pulan berkuasa”, tetapi “kekuasaan adalah si Pulan”. Sungguh amat ironis dan sekaligus gawat!

Sekarang timbul kesadaran yang ditandai dengan lontaran kritik bahwa kebudayaan modern telah terjerumus kepada kebudayaan materialis yang, sebagaimana disebutkan di atas, mengukur kemanusiaan hanya dari sudut materi belaka. Awal-pangkal dari sikap pandang hidup ini lahir dari Barat nota-bene di mana modernisme itu kali pertama muncul pada abad ke-18 yang ditandai dengan “Revolusi Industri” di Inggris.

Jadi, menurut Cak Nur, bahagia dan sengsara pun diukur dengan semangat serba benda. Kritik semacam ini tidak hanya datang dari orang-orang bukan Barat, seperti umat Islam, tetapi yang paling hebat justru datang dari kalangan orang Barat sendiri, khususunya yang sekarang dikenal sebagai kaum pasca-modernis.

Kecendrungan semacam ini turut pula penimpa sistem dan materi pendidikan di Perguruan Tinggi. Dan salah satu materi kuliah yang dikorbankan demi menyahuti dan memenuhi kecenderungan itu adalah mata kuliah Filsafat. Memang diakui, menurut K. Bertens (Tantangan Kemanusian Universal, 1993: 55), kegunaan filsafat kalau yang menjadi ukurannya adalah utilitaristik, rendahbilitasnya pasti rendah.

Berbeda untuk ukuran sama bila diterapkan misalnya, pada Ilmu Kedokteran, Ilmu Teknik, Ilmu Ekonomi, ilmu Manajemen, Ilmu Hukum dan Ilmu Kependidikan. Kegunaan dari ilmu-ilmu ini tidak pernah disangsikan karena masyarakat tetap selalu membutuhkan dokter, arsitektur, ahli ekonomi, ahli maneger, hakim dan membutuhkan guru.

Lalu bagaimana nasib filsafat bagi kehidupan manusia? Kalau ukurannya seperti disebutkan di atas, maka adalah wajar kalau timbul pertanyaan pesimisme: apa gunanya belajar filsafat? Atau pertanyaan lanjutannya, apa bedanya seandainya mata kuliah filsafat tidak diajarkan? Sekali lagi, kalau ukurannya adalah semata-mata kuantititif-kebendaan, jawabanya adalah: “tidak ada bedanya!” Pada giliranya, wajarlah kalau belajar filsafat di Perguruan Tinggi menjadi tidak urgen. Dan keputusan finalanya adalah studi filsafat “wajib” disingkirkan di Perguruan Tinggi!

Filsafat pada hakikatnya, lagi-lagi menurut Soerjanto Poespowardojo, adalah suatu upaya refleksi. Karenanya, tidak selayaknya peranan dan kegunaanya dicari dalam penciptaan saran-sarana hidup yang digunakan secara praktis oleh manusia. Memang, filsafat tidak mengajarakan bagaimana “membuat roti”, demikian tandas Louis Kattsoff dalam bukunya, “Elements of Philosophy”. Dengan kata lain, membuat roti memang tidak memerlukan filsafat. Akan tatapi, untuk melahirkan kebijakan yang bijak dalam politik misalnya sangat memerlukan filsafat.

Dalam konteks disebut di atas rupanya hajat terhadap etika sebagai cabang utama filsafat menjadi sebuah keniscayaan. Karenanya, menurut K. Bertens, dewasa ini tidak ada zaman sebagaimana zaman sekarang etika sangat dibutukan seluruh aspek keilmuan dan lapangan kehidupan, misalnya etika politik, etika bisnis, etika kedokteran, etika kependidikan, dan lain-lainnya. Dalam mengoptimalkan ini, agaknya etika sebagai cabang filsafat perlu saling bekerja sama dengan doktrin-doktrin agama.  Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Penulis adalah Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) sekaligus Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.